DUA PULUH TUJUH

2.2K 497 54
                                    

Hai... hehehe

pengakuan, aku sempet bingung mau lanjutin ini gimana. makanya aku rehatin dulu. kapan hari iseng baca ulang, dapet deh satu part lagi. jadi aku coba update. buat yang masih mau lanjut baca, aku ucapkan terima kasih atas kesabarannya. buat yang mutusin mau lanjutin pas tamat beneran juga nggak apa-apa banget.

intinya, aku nggak bisa janjiin buat update berkala, tapi bakal aku usahain banget ini tamat nantinya. semoga otakku bisa diajak kerjasama ya :)

Happy reading ~

***

Aku menerima piring berisi nasi dan lauk pauk yang disodorkan Mama sambil mengucapkan terima kasih. Walaupun merasa dijebak hingga terpaksa pulang, sejujurnya aku sedikit merindukan masakan Mama. Lauk pauk di warteg langgananku memang beragam, dan rasanya juga sangat enak. Tapi tetap saja tidak sebanding dengan masakan rumah khas mamaku yang akan selalu menempati posisi teratas sebagai makanan favoritku.

"Kamu jadi tidur sini, kan?" Mama menatapku dengan wajah berbinar, sama sekali tidak merasa bersalah sudah 'menjebakku'.

"Nggak ah. Habis makan mau langsung balik."

Mama langsung cemberut, membuatku menahan tawa. "Mama jual aja nih rumah lama-lama, uangnya buat keliling dunia, daripada sendirian terus di sini."

"Salahnya, aku suruh nikah lagi nggak mau."

Mama menyentil dahiku dengan geram.

Aku menyeringai, menghabiskan semua makanan di piring, lalu beranjak dengan piring kotorku ke depan tempat cuci piring. Mama mengikutiku, berdiri di belakangku sambil bersandar di meja dapur, sementara aku membersihkan alat makan yang tadi kupakai.

"Yang tadi, pacar kamu, Na?"

Aku langsung menangkap siapa 'yang tadi' dimaksud Mama. "Bukan. Temen doang." Aku membilas peralatan makan hingga semua busa sabunnya hilang, lalu mengeringkannya sebelum meletakkan semuanya di rak piring.

"Masa sih?"

Aku mengeringkan tangan, lalu berbalik menghadap Mama. "Beneran, Mama."

"Temen tapi spesial ya?" Nada menggoda Mama kembali.

Aku tertawa kecil. "Ya, anggap aja gitu. Tapi nggak pacaran." Aku membuka pintu lemari es, mengambil sekotak jus dari sana.

"Nggak pacaran apa belum pacaran?"

Aku menyeruput jusku, mengedikkan bahu.

Mama mengambil gelas, mengisinya dengan air putih dari teko. "Siapa namanya?"

"Ibnu," jawabku, sambil mengeluarkan ponsel. Angka jam di layarnya sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam, dua jam lebih sejak pertemuan dengan Ibnu dan tingkah anehnya tadi. Aku sudah coba menelponnya, tapi tidak dijawab. Chat-ku juga belum dibalas, atau dibaca, hingga sekarang.

"Ibnu?"

Aku mengangguk, masih fokus pada ponselku. "Ibnu Arraya—" Aku menghentikan ucapanku, mengurungkan niat menyebut nama belakangnya.

"Adhitama?"

Aku mengangkat kepala dari ponsel, menatap Mama dengan kaget. "Kok tahu?"

Senyum di wajah Mama lenyap sepenuhnya. Ekspresinya seketika berubah kaku. Beliau meletakkan gelasnya di meja dapur, melempar tatapan tajam padaku. "Kamu beneran nggak pacaran sama dia, kan?"

Aku menggeleng, sedikit kaget dengan perubahan sikap Mama.

"Nggak usah jalin hubungan sama dia," ucap Mama, nyaris terdengar seperti perintah. "Jauhin kalau perlu. Mama nggak suka."

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang