LIMA

4.5K 985 37
                                    

Aku tidak terlalu kaget saat melihat Ibnu tidak datang sendirian malam ini. Seorang gadis berpenampilan santai namun tetap memberi kesan elegan, dengan paras cantik, ikut masuk dan berdiri di sebelahnya. Gadis itu melempar senyum ramah ke arahku dan Ashan bergantian. Ashan mempersilakan gadis itu duduk di sofa. Sementara si gadis duduk, Ibnu bergabung denganku dan Ashan di depan komputer.

“Siap?” tanya Ashan, menatapku dan Ibnu bergantian.

Begitu kami mengangguk, dia menekan tombol play di layar. Suara musik pembuka segera saja memenuhi ruangan itu.

Aku sudah mendengarkan hasilnya lebih dulu tadi, karena Ibnu berkata dia tidak bisa datang malam ini. Jadi sekarang aku lebih penasaran dengan reaksinya. Menurutku pribadi, hasilnya memuaskan. Seperti yang kubilang, lagu ciptaan Ibnu tidak jelek. Hanya butuh sedikit sentuhan untuk membuatnya sempurna. Bukan hanya musiknya, Ibnu juga memiliki jenis suara yang menarik. Rendah dan sedikit serak. Dia mungkin tidak akan bisa menyanyikan nada melengking, tapi bisa mencapai nada rendah dengan mulus.

Bunyi tepuk tangan terdengar begitu lagu itu berakhir. Pacar Ibnu terlihat puas jika dinilai dari tepuk tangannya. Dia juga mengacungkan kedua jempol ke Ibnu saat lelaki itu menoleh ke arahnya.

“Gila... suara lo bagus banget,” puji Ibnu, tiba-tiba.

Aku mengerjap, merasakan pipiku seketika menghangat. “Lo juga nggak jelek,” balasku, menahan diri supaya tidak salah tingkah.

“Gue udah kasih ke Vino,” lanjut Ashan. “Kalau lo mau, dia bisa bantu supaya nih lagu bisa didengar sama tim Geminos. Kalau mereka tertarik, lo berdua bisa—”

“Bentar,” potongku. Aku belum mendengar bagian rencana ini. “Kenapa berdua? Nggak dia sendirian aja?”

Ashan menatapku seolah aku baru saja menanyakan hal yang tidak masuk akal. “Ya, ini kan lagu lo berdua jadinya.”

Aku menggeleng. “Gue nggak ikutan, dia aja.”

Dahi Ibnu mengernyit. “Kenapa lo nggak mau?”

“Nggak tertarik,” ucapku.

“Yah, kalau cuma Ibnu, lagunya versi dia sendirian dong.”

“Ya udah, rekaman ulang aja yang dia sendirian. Pake aransemen gue waktu itu,” ujarku.

“Tapi versi duet ini bagus banget, Na. Gue nggak yakin versi gue sendirian bisa sebagus ini juga.”

Tatapanku kembali bertemu dengan manik Ibnu. Aku bisa melihat sorot penuh harap di sana, membuatku segera membuang muka sebelum terpengaruh. “Gue nggak bisa.”

“Nggak bisa apa? Suara lo bagus gitu. Lo dengerin lagi deh coba....”

Aku tetap menggeleng.

“Oke,” Ashan menengahi, sebelum aku dan Ibnu mulai berdebat. “Ini, kan, masih belum pasti juga nasibnya. Kalau kata gue, kirim aja coba dua-duanya. Versi duet, sama versi solonya Ibnu. Kalau mereka emang tertarik, ya biar Ibnu yang maju sendiri.”

Aku berdiri. “Ya, terserah. Yang jelas gue nggak mau ikut terlibat lebih dari ini,” tegasku, kemudian berjalan pergi meninggalkan ruangan itu.

Studio sudah tutup, tapi aku belum bisa langsung pulang. Vino sudah mengabarkan kalau dia tidak bisa datang malam ini, jadi aku yang bertugas mengunci pintu. Ashan dan Ibnu, juga pacar Ibnu, masih di ruang rekaman. Menghela napas, aku memilih duduk di meja resepsionis, menatap layar komputer di depanku sementara pikiranku ke mana-mana.

Aku menyukai musik, tapi tidak berminat menjadikannya pekerjaan profesional. Tidak untuk di depan layar, tepatnya. Aku tidak nyaman jadi pusat perhatian, lebih suka tak terlihat. Jangankan dipandang berpasang-pasang mata. Menyadari ada satu orang saja yang ketahuan menatapku, aku sudah salah tingkah tak karuan. Kalau hanya sebatas bantu membuat musik, menjadi backing vocal pun aku masih mau. Tapi rekan duet? Tidak, terima kasih.

EqualWhere stories live. Discover now