DELAPAN

4.3K 986 24
                                    

Aku mendengar Vino menghela napas, dengan pandangan lurus ke layar komputer di depan kami. Angka minus di deret paling bawah laporan keuangan itu seperti disorot lampu neon, langsung menjadi pusat perhatian. Aku tahu apa pun yang akan dikatakannya, tidak akan menjadi berita baik bagiku.

“Hampir setahun gini terus, Na. Nggak sanggup gue,” gumamnya.

“Masa beneran mau tutup sih, Bang...”

“Ya gimana... ini buat bayar listrik doang ngepas. Gaji lo sama Ashan aja udah pake tabungan gue,” gumam Vino. “Dulu enak, masih banyak yang mau rekaman di sini. Sekarang sebulan ada satu yang rekaman aja kayak langka banget. Penyanyi-penyanyi sekarang pada punya studio sendiri, kadang label cuma jadi publisher.”

Aku menatap sekeliling. Sejujurnya, tempat itu perlu renovasi besar-besaran. Termasuk peralatan yang digunakan. Agak disayangkan Vino tidak melakukan pembenahan saat tempat ini di masa jaya. Begitu merasa pendapatan dari sini menurun, dia memilih melamar pekerjaan di tempat lain.

Vino menepuk pelan bahuku. “Sori...” Dia lalu berdiri, meninggalkanku yang termenung, menuju ruang rekaman.

Aku memang belum genap setahun bekerja di sini. Tapi jauh sebelum itu, tempat ini sudah menjadi tempat pelarianku. Saat aku duduk di bangku SMA dan mulai tertarik dengan musik, Vino yang berusia enam tahun di atasku, memutuskan membuka tempat ini. Dulu, studio ini ramai. Penuh dengan anak-anak sekolah yang bermain musik hanya untuk bersenang-senang, juga musisi indie yang ingin berkarier serius. Aku ingat sekali hanya bisa masuk ke ruang latihan di malam hari, saat tempat ini mendekati jam tutup.

Vino benar. Sekarang, hanya satu-dua yang datang. Jangankan untuk latihan alat musik, untuk rekaman pun sudah sangat jarang. Perkembangan teknologi membuat tempat kecil seperti ini tidak lagi diperlukan. Mereka bisa merekam musik sendiri hanya bermodalkan gadget dan alat-alat simpel yang bisa didapatkan dengan mudah di e-commerse.

Rasanya benar-benar menyedihkan. Seolah aku akan segera kehilangan rumah.

Hampir satu jam Vino menghabiskan waktu di ruang rekaman. Dia melangkah keluar dari sana bersamaan dengan Ashan, yang raut wajahnya terlihat kecewa. Ashan tidak berkata apa-apa saat melewatiku, hanya senyum tipis yang tampak sedih, kemudian dia berjalan keluar dari sana, sementara Vino kembali duduk di sebelahku.

“Lo pecat Mas Ashan?”

“Nggak!” omel Vino. “Gue cuma ngasih tahu keadaan studionya sekarang gimana.”

“Terus...?”

“Kalau akhir bulan ini masih gini, ya nggak ada pilihan lain.”

“Mas Ashan nggak ngasih usul apa gitu?”

Vino menggeleng. “Dia bilang kemungkinan bakal balik ke Jogja kalau tempat ini tutup.” Lalu dia menatapku. “Lo gimana?”

Aku mengedikkan bahu. Sebelum bekerja di sini, aku berencana daftar ke salah satu sekolah musik untuk bergabung sebagai pengajar. Mungkin aku bisa mencoba lagi. Atau ke tempat les?

“Nggak pengin coba terima tawaran Geminos?”

Aku refleks menatap Vino dengan mata menyipit. “Lo nggak nutup nih tempat biar gue ambil itu, kan?”

“Astaga, lo kira gue sableng banget apa?” protes Vino. “Nih tempat juga penting buat gue. kalau ada pilihan ya nggak mau gue tutup!”

“Sori...” ucapku.

Vino berdecak, seraya berdiri. “Ayo, pulang. Capek gue.”

Aku menurut. Sementara Vino mengecek semua pintu dan jendela sudah terkunci, aku menunggunya di teras. Begitu selesai, kami berjalan tanpa suara menuju mobilnya. Keheningan yang sama tetap bertahan sampai mobil itu sudah melaju meninggalkan studio, menuju tempat kosku.

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang