TIGA

4.5K 994 41
                                    

Raut wajah Feline kelihatan rada dongkol pas gue akhirnya tiba di apartemennya. Dia udah dandan rapi, cantik as always, walaupun sekarang lagi cemberut dengan kedua tangan dilipat di depan dada. Pas gue nyuri cium bibirnya, dia menghadiahi pukulan di bahu disusul geraman.

“Aku tahu kamu nggak excited ketemu orang tua kamu, tapi jangan gini dong, Nu...”

Gue melingkarkan tangan di pinggang rampingnya. Feline nggak menjauh, walaupun wajahnya masih ditekuk. “Kalau kita telat, artinya kita nggak perlu lama-lama di sana.” Gue mengecupnya sekali lagi, lalu berjalan ke kamar mandi.

Hari ini peringatan ulang tahun pernikahan orang tua gue, entah yang keberapa. Udah jadi kebiasaan bikin acara yang mewajibkan anak-anaknya kumpul. Mau salah satu anaknya ada di ujung dunia, orang tua gue nggak peduli, pokoknya harus datang. Padahal acaranya nggak penting, menurut gue. Cuma makan-makan sama beberapa kolega yang nggak gue kenal satu pun.

Yang paling bikin malas, acaranya selalu formal dan gue juga wajib pakai pakaian rapi. Beneran cuma bikin repot. Tapi karena nggak mau bikin Feline makin kesal, gue nggak protes pas lihat pakaian yang udah dia siapkan buat gue dan memakainya dalam diam.

“Sini, aku pasangin.” Feline menarik dasi kupu-kupu yang belum terikat di leher gue, membuat kami berhadapan.

Beda sama gue yang nggak pernah semangat sama acara ini, Feline selalu tertarik sejak pertama kali gue ajak. Dia bilang itu kesempatan bagus buat nambah koneksi, yang bisa ngasih pengaruh baik ke kariernya. Dia betah banget meladeni obrolan bapak-bapak di sana, dan selalu berhasil bikin mereka kagum sama pola pikirnya.

Cantik dan cerdas, bikin jalannya mulus diterima sebagai pacar gue. Malah kayaknya orang tua gue jauh lebih excited buat ketemu dia daripada lihat gue.

Begitu dasinya udah terpasang rapi, Feline menepuk pelan bagian depan kemeja gue, sebelum bantu memakaikan jas. Menurut gue kemeja aja udah cukup, tapi bagi Feline nggak. Harus suit lengkap. Dan satu-satunya alasan gue mau pakai ini cuma biar nggak kebanting sama penampilan Feline yang sempurna. Gaun merah panjang pas badan, dengan punggung terbuka, membentuk lekuk tubuhnya dengan pas. Gue nggak mau malu-maluin dia dengan jadi egois dan tampil kayak gembel.

“Kamu cantik banget,” puji gue.

Pipinya bersemu, memperjelas perona merah di sana. “Nggak usah ngegombal, kita udah telat.” Dia menyerahkan kunci mobilnya ke gue, lalu berjalan lebih dulu.

Gue segera menyusulnya hingga kami berjalan sebelahan, meraih tangannya ke dalam genggaman gue. Feline membalas genggaman gue, menggoyang-goyangkan tangan kami yang bertaut sambil menunggu lift.

Kalau bisa milih, gue nggak pengin pergi. Mending di sini, ngabisin waktu berdua dia sambil cuddle. Netflix and chill. Jauh lebih menyenangkan.

Pintu lift di depan kami terbuka, berbarengan dengan ponsel Feline berbunyi. Dia membuka tas kecilnya, mengeluarkan ponsel dari sana, lalu menatap gue.

“Mama kamu,” gumamnya.

Gue berdecak menahan pintu lift supaya tetap terbuka, sementara Feline menjawab panggilan itu.

“Halo, Tante?” sapanya. “Iya, ini Feline sama Ibnu udah mau berangkat, lagi nunggu lift.” Diam sebentar. “Iya, Tante. Sampai ketemu di sana.”

Hebat, kan? Gue yang anak kandung aja hampir nggak pernah ditelepon, kecuali pas gue ulang tahun. Nyokap gue lebih sering nelepon Feline, termasuk buat nanya keadaan gue, dibanding langsung hubungin gue.

Setelah memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, Feline memeluk lengan gue, mengajak masuk ke dalam lift.

Malam ini bakal terasa panjang banget.

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang