DUA

5.6K 1.1K 65
                                    

Laki-laki itu datang lagi. Kedatangan keempat dalam dua minggu sejak kedatangan pertamanya tempo hari. Dia masih tidak banyak bicara. Hanya datang, mengisi formulir yang kuserahkan, lalu duduk diam menunggu gilirannya. Begitu selesai, raut wajahnya masih tampak semuram saat dia datang. Tidak ada ekspresi puas, atau sedikit raut semangat pun di wajahnya. Aku jadi tidak yakin dia menikmati apa yang dilakukannya sekarang.

Bukan urusanku. Aku biasanya tidak terlalu memperhatikan pelanggan yang datang, termasuk pelanggan tetap. Beberapa dari mereka ada yang mencoba berbasa-basi, dan kutanggapi seadanya. Tugasku hanya menjaga studio ini, memberi laporan harian pada Vino, lalu pulang.

Walau tidak sepenuhnya memperhatikan satu per satu pengunjung, tapi aku tahu kalau ekspresi laki-laki itu berbeda dengan yang lain. Biasanya, sekusut apa pun wajah orang yang datang ke tempat ini, mereka keluar dari ruangan dengan wajah berbinar, seolah baru saja mendapat sumber energi baru. Atau sekadar kesempatan untuk melampiaskan stres. Ruangan itu kedap suara, sangat cocok digunakan untuk berteriak sepuasanya. Hanya laki-laki itu yang seolah membawa beban tambahan tiap kali meninggalkan ruang latihan.

Hari ini juga sama. Dia berjalan ke arahku dari ruang latihan dengan ekspresi penuh beban. Aku jarang penasaran dengan urusan orang. Tapi kali ini rasa ingin tahuku muncul.

Bukan berarti aku akan bertanya langsung padanya. Aku tidak sepenasaran itu. Jadi, saat dia menyodorkan uang untuk membayar biaya sewa tempat, aku mengambilnya, memberi kembalian, tanpa banyak basa-basi seperti biasa.

Begitu transaksi selesai, dia langsung pergi dari sana.

Mendekati pukul sebelas malam, waktunya tutup, tinggal ada satu pengunjung yang berada di ruang rekaman. Berbeda dengan para penyewa ruang latihan, pengguna ruang rekaman biasanya membutuhkan waktu lebih lama. Kadang sampai sehari penuh, membuatku ikut terlambat pulang.

Pintu kaca terbuka dari luar, menimbulkan denting dari lonceng di atasnya, membuatku menoleh. Seorang laki-laki berambut keriting melangkah ke arahku dengan senyum kecil.

“Hai, udah makan belom?” sapanya.

“Udah.”

Lelaki itu, Vino, si pemilik tempat ini, meletakkan plastik berisi bakso bakar di mejaku. “Buat ngemil masih bisa, kan?” dia menyeringai.

Aku mengambil setusuk bakso bakar dan mulai menikmati makanan ringan itu. Sambil makan, aku mulai memberikan laporan harian kepada Vino.

“Temen Abang tadi dateng lagi,” gumamku, begitu laporan selesai.

“Ibnu? Sendirian?”

“Iya, sendirian. Masih kusut kayak pas pertama dateng.”

“Lagi berantem sama pacarnya, kali.” Vino menghabiskan bakso bakar terakhir, lalu membuang plastik kosongnya ke tempat sampah. “Gue kaget sih dia tiba-tiba muncul. Dulu tuh dia rutin banget latihan di sini, bikin lagu. Rekaman juga gue yang bantuin. Terus nggak tahu kenapa, tiba-tiba ngilang.”

“Dia bikin lagu?”

Vino bergumam mengiyakan. “Lancar banget, kayak nggak pernah kehabisan ide. Tapi lagu-lagunya emang mainstream sih. Tipe yang buat sekali didengar enak, tapi abis itu udah, bosen.”

“Tapi bisa bikin lagu aja tuh udah kelebihan loh,” ujarku. “Nggak gampang bikin lagu, walaupun yang mainstream.”

Vino mengacak rambutku. “Iya, gue nggak bilang lagunya jelek kok.”

Aku berdiri saat Vino memutar layar komputer menghadapnya, membiarkan dia duduk di kursiku.

“Lo sendiri gimana?” tanyanya, tanpa berpaling dari layar komputer.

EqualWhere stories live. Discover now