DUA BELAS

3.7K 882 64
                                    

Kesibukan menjelang gala premiere film bikin gue jadi nggak ada waktu buat galau. Di acara itu nanti, buat kali pertama gue bakal nyanyi live soundtrack-nya. Yang versi album, bukan versi bareng Kaivan sama Ghea. Jadi gue bakal nyanyi sendirian, di tengah panggung, bukan di pojokan, dan di depan orang-orang yang kali ini bakal merhatiin gue, nggak sibuk sama makanan mereka masing-masing.

Gue jadi nggak ada kesempatan buat mikirin Feline. Begitu pulang tiap kelar latihan, gue pasti langsung tidur. Tika udah ngasih gue wejangan supaya gue nikmatin waktu selagi masih banyak kosong. Karena, selesai premiere ini, gue bakal mulai sibuk promo album bareng yang lain.

“Premiere-nya Sabtu malam, tapi kita ke sananya siang, lo sama Dion gladiresik dulu, terus baru siap-siap.”

Dion adalah salah satu penyanyi solo di Geminos yang udah punya nama besar, fanbase nggak kalah gedenya. Dia udah nyumbang banyak penghargaan buat dipajang di kantor. Kenyataan kalau cuma gue sama dia yang bakal nyanyi langsung buat acara nanti cukup bikin gue gugup. Ngebayangin orang-orang bakal bandingin gue sama dia, udah bikin gue parno duluan.

“Lo tampil duluan, terus baru Dion.”

Gue cuma mengangguk-angguk selama Tika jelasin, biar dia tahu kalau gue dengerin semua arahannya walaupun nggak ngasih tanggapan.

“Buat outfit, ntar gue sama tim yang siapin. Terus...” Tika merogoh tas tangannya, mengeluarkan lima lembar amplop panjang berwarna merah dari sana. “Nih, tiket. Boleh lo kasih ke siapa aja. Orang tua lo, pacar, terserah.”

Gue menerimanya, seraya mengucapkan terima kasih.

“Oke, hari ini itu aja. Besok lo bisa istirahat, lusa gue jemput buat press tour, lo nemenin Ghea. Kaivan nggak bisa karena ada syuting di luar kota, jadi lo yang gantiin.”

Gue kembali mengangguk.

Tika lebih dulu berdiri, berjalan meninggalkan ruangan itu dan gue mengikuti di belakangnya. Sambil jalan ke tempat parkir motor, gue memandangi amplop-amplop di tangan gue. cuma tiga orang yang terlintas buat gue kasih undangan ini. Dua sisanya mungkin bisa buat orang tua gue, itu juga kalau mereka ada waktu buat datang.

Gue memasukkan amplop-amplop itu ke dalam tas, lalu menaiki motor dan menyalakan mesinnya. Tujuan pertama gue studio Vino. Una sama Ashan berjasa banyak buat gue, juga Vino. Tapi Vino bisa minta sama kantor, jadi gue mutusin buat ngasih dua undangan ke Una sama Ashan.

Begitu tiba di depan studio Vino, pemandangan asing menyambut gue. pagarnya digembok, rolling door-nya juga tertutup rapat. Yang paling bikin gue kaget, palang bertuliskan “DIJUAL/DISEWAKAN” tergantung di pintu pagar, lengkap dengan nomor ponsel Vino. Dahi gue berkerut dalam. Gue emang udah beberapa minggu nggak mampir, tapi terakhir kali ketemu Una, sebelum gue mulai sibuk di Geminos, dia nggak cerita apa pun soal ini.

Dengan setengah bingung, gue mengeluarkan ponsel dan menghubungi Una. Dia langsung jawab di dering kedua.

“Halo? Kenapa, Nu?”

“Hai,” balas gue. “Ini gue di depan studio Vino, tapi tutup?”

Hening beberapa saat, sebelum Una menanggapi. “Hehe, iya...”

Gue emang nggak lihat langsung, tapi bisa dengar nada getir dari tawanya. “Lo sekarang di mana?”

“Di kosan.”

“Ketemu di kafe deket kosan lo, ya? Gue mau ngasih sesuatu.”

“Hm... oke...”

See you, Na.”

See you.”

Gue kembali menyalakan motor dan melajukannya menuju kosan Una.

*~*

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang