ENAM

4.3K 985 61
                                    

Gue udah siap naik panggung, tampil di sudut kafe kayak biasa, saat ponsel gue bergetar. Nama Ashan muncul sebagai penelpon, bikin gue mengernyit sesaat sebelum menjawab panggilan itu.
“Halo?”

“Halo, bro...” Ashan membalas sapaan gue. “Lo lagi sibuk?”

“Mau nyanyi sih. Kenapa?”

“Oh, gue cepet aja kalau gitu,” ujarnya. “Jadi, soal lagu lo sama Una, lo kan bilang nggak usah dikasih ke Vino. Tapi gue udah terlanjur ngasih. Tadinya gue biarin karena ya belum tentu juga diterima kan...”

“Ternyata diterima?”

“Semacam itu. Mereka tertarik.”

Gue terdiam sesaat. “Una gimana?”

“Nah itu masalahnya... Vino bilang dia bakal coba bujuk Una. Tapi nggak bisa janji juga tuh anak mau berubah pikiran.”

Kalau aja Una mau kerjasama, ini jadi berita paling membahagiakan bagi gue. Yang udah gue tunggu banget. Sayangnya dia nggak mau, dan gue juga nggak ada keinginan buat maksa dia.

Sesuatu yang dipaksain nggak bakal bagus jadinya.

“Bilangin Vino, nggak usah dipaksa kalau dia nggak mau.”

“Tapi ini kesempatan langka, Nu.”

“Ya, terus gimana?”

“Kalau kata gue, lo tetap harus dateng ke sana. Walaupun Una masih nggak mau, lo masih bisa ambil ini jadi peluang buat lo.”

Gue menatap dinding kosong di depan gue. “Lanjut ntar ya. Gue kerja dulu.”

“Okelah. Ntar Vino hubungin lo kalau udah kelar ngurusin Una, apa pun hasilnya.”

Gue cuma mengiyakan, lalu memutus sambungan telepon dan menyimpan ponsel. Nggak mau mikirin itu sekarang, gue mutusin buat fokus kerja. Gue berjalan pelan menuju panggung kecil di sudut kafe, siap memulai pertunjukan rutin gue. Tatapan gue mengitari isi ruangan itu, mencari sosok Feline. Tapi dia nggak ada di sana. Tadi dia ngabarin ada kerjaan bentar, bakal datang kayak biasa kalau kerjaan dia kelar. Kerja di hari libur bukan hal baru sebenarnya buat Feline. Dia sering ngeluh capek ke gue, tapi masih ragu buat resign karena menurut dia gajinya setimpal.

Begitu duduk di kursi tinggi, tepat di depan mikrofon, gue menyapa pengunjung kafe, basa-basi kayak biasa meskipun nggak banyak yang menanggapi. Setelahnya, gue mulai nyanyi lagu pertama diiringi petikan gitar.

Baru mau mulai bait pertama, bunyi lonceng dari pintu kafe yang terbuka membuat gue menoleh. Sosok yang melangkah masuk bikin gue kaget. Gue emang nggak hafal siapa aja pengunjung kafe ini, tapi gue yakin Una bukan salah satunya. Seenggaknya gue nggak pernah lihat dia di sini tiap lagi main. Melihat dia di sini sekarang, dan bukan di studio Vino, nggak tahu kenapa agak aneh bagi gue.

Dia masih belum menyadari keberadaan gue, tampak sibuk nyari tempat sama temannya. Pas gue mulai nyanyi, saat itulah dia baru noleh ke arah panggung dan seketika kaget pas lihat gue. Gue melempar senyum kecil, sambil tetap bernyanyi, yang dibalasnya dengan senyum ragu campur bingung. Begitu dia duduk, gue fokus ke lagu, nggak lagi noleh ke arah dia.

Gue udah masuk ke lagu ketiga, pas lonceng di pintu kembali berbunyi. Kali ini sosok yang beneran gue tunggu yang melangkah masuk. Dia melambai dengan senyum manisnya, sebelum duduk di kursi yang biasa. Kursi pojok, dekat toilet, paling jarang diisi orang, tapi Feline selalu duduk di sana walaupun ada kursi lain yang kosong. Katanya biar lebih jelas pas lihat gue nyanyi.

Dengan pandangan terus ke arah Feline, gue memulai lagu ketiga buat malam itu. Selama gue nyanyi, Feline beberapa kali mengalihkan fokusnya ke ponsel, nggak ke gue. Satu-satunya yang bikin Feline nggak bisa lepas dari ponselnya cuma urusan kerjaan. Gue jadi agak merasa bersalah karena dia maksain ke sini, kalau emang ternyata kerjaannya belum selesai.

EqualWhere stories live. Discover now