DUA PULUH LIMA

3.8K 785 56
                                    

Sorry, ternyata bagian awal yang ke-up versi belum diedit....

jadi ini aku re-publish versi yang udah dieditnya. Gak gitu banyak sih, cuma yang awal-awal :')

maaf atas ketidak-nyamanannya. Happy reading ~

***

Gue meletakkan hairdryer, mengambil handuk dari kasur dan menggantungnya di kamar mandi. Pas balik ke area tidur, gue mendapati Una masih diam di posisinya. Tampak melamun. Perlahan, gue duduk di sebelahnya.

"Hei, Mikirin apa?" tegur gue.

Una menatap gue. Dia kayak ragu antara mau jawab pertanyaan gue, atau tetap diam.

Gue meletakkan satu tangan di atas kepalanya. "Kenapa?" gue coba nanya lagi.

"Nggak sih..." Una berdeham. "Gue tadi iseng searching nama lo di google."

Gue menatap raut wajah Una beberapa saat. Jujur, gue sendiri pernah iseng nyari nama gue di google. Selama nggak pakai nama belakang, yang keluar Cuma soal kerjaan. Nggak ada yang aneh. Tapi, dari ekspresi Una sekarang, gue tahu dia nggak Cuma nemu soal lagu atau kerjaan gue.

"Nemu yang menarik?"

Una menatap ponsel di pangkuannya, lalu menyerahkan benda itu ke gue. Ponsel Una nggak dikunci. Jadi, begitu gue membuka layarnya, sebuah laman artikel yang sedang dibaca Una langsung terlihat.

Gue seketika paham. "Lo terganggu sama ini?"

Una menggeleng. "Gue cuma kepikiran aja reaksi keluarga lo kalau tahu lo lagi dekat sama kaum jelata kayak gue."

Gue mendengus, mengembalikan ponselnya. "Kalau lo takut ntar bokap gue tiba-tiba nawarin lo duit sekoper supaya lo jauhin gue, nggak bakal kejadian," omel gue.

Una memukul bahu gue. "Serius, Ibnu." Mata bulatnya menatap gue dengan sebal.

"Ya, serius," ujar gue. "Yang tajir orang tua gue, bokap gue. Gue sama aja kayak lo."

"Beda, Nu...."

Gue menghela napas. Menaikan satu kaki ke kasur, gue memutar tubuh menghadap gadis itu. "Gimana pun keluarga gue, nggak ada hubungannya sama kita, atau yang kita jalanin."

Una masih terlihat kayak mau membantah.

"Mereka nggak pernah ngurusin sama siapa gue lagi jalin hubungan."

Gue ngomong gitu bukan cuma buat menghibur Una, tapi karena itu emang fakta. Sama kayak semua hal yang gue jalanin, selama pasangan gue bukan kriminal, atau apa pun yang berpotensi ngasih berita buruk buat image keluarga, bokap gue nggak akan ambil pusing.

"Jadi," gue melanjutkan. "Misal lo kepikiran mau menjauh karena kita beda 'kasta'," gue membuat tanda kutip dengan tangan, "Stop it. Stop nonton drama Korea."

Dia seketika tertawa, bikin gue rada lega. Ekspresinya nggak bisa gue jelasin antara puas apa nggak sama ucapan gue, tapi seenggaknya dia nanggepin lelucon garing gue.

"Oke," akhirnya dia berkata. "Tapi, Nu, misal bokap lo beneran nawarin gue duit sekoper buat jauhin lo, sayang nggak sih kalau gue tolak?"

Gue memelototinya.

Tawa Una makin keras. "Kan, lumayan. Misal ditawarin satu milyar gitu, bisa kita bagi dua."

Gue mendengus. "Dikit amat satu milyar? Jangan nanggung. Minimal minta sepuluh milyar gitu, baru kita bagi dua."

Una masih terkekeh sambil mengacungkan jempolnya.

Gue geleng-geleng kepala, berdiri dari kasur, dan menarik gadis itu supaya ikut berdiri. "Harga gue sama kayak duit sekoper banget ya?"

EqualTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang