6. SACHI : CURHATAN

9 4 0
                                    

Sesampainya dirumah, Kak Zayyan memang sudah duduk manis, menonton televisi ditemani sebungkus besar Chitato. Aku langsung ikut duduk di sofa sampingnya.

"Tumben santai? Biasanya gak lepas dari layar laptop." Jarang-jarang Kak Zayyan bisa duduk diruang keluarga sambil lihat tv tanpa ada distraksi gadget dan laptopnya.

Matanya langsung menyipit. Melihat mataku. "Kenapa, Ma, Adek? Pulang-pulang kusut gitu mukanya," tanyanya ke mama saat melihat mama.

"Tanya aja tuh, anaknya duduk di sampingmu gitu loh, Kak," ucap Mama berlalu menaiki tangga. "Jangan banyak makan ciki, Kak. Inget amandelmu."

Aku tersenyum tipis mendengar tanggapan Mama.

Aku ulurkan tangan berniat minta keripik kentang yang ada ditangannya, tapi ditepis.

"Aku bilangin mama loh ya, kalau sebungkus Kakak habisin sendiri." Bukannya keripik kentang yang aku dapat malah tatapan aneh lagi yang diberikan Kak Zayyan.

Dia memicingkan mata, menatap lamat-lamat, otomatis aku palingkan wajah ke samping. "Apaan, sih, Kak, liatin aku sampai segitunya," gerutuku pelan meraup wajahnya dengan tangan.

"Kamu habis nangis, Dek?" selidiknya.

"Gak! Sok tau!" jawabku ketus. Salah kalau kamu bohong, Sachi. Jelas-jelas omongan dan tampilan muka tidak sinkron.

Kak Zayyan tiba-tiba memeluk sambil menepuk-nepuk kepalaku pelan. "Ternyata adek kakak udah besar ya, udah bisa nangis gara-gara cinta, bukan nangis gara-gara gak dibeliin permen lagi," kelakarnya dengan nada mengejek.

Aku berusaha melepaskan pelukannya. "Ish! Lepas! Pengap aku gak bisa nafas. Tangan Kakak juga kotor itu." Saat sudah terlepas dari pelukannya langsung aku tinju pundaknya keras. Bukannya marah Kak Zayyan malah tertawa keras.

"Kok malah ketawa, sih!" sungutku jengkel sambil membersihkan bumbu keripik yang menempel di rambut.

Dia mengambil Chitato, yang ternyata sudah diletakkan di meja dan kembali mengarahkan padaku. "Kenapa lagi, sih, Dek? Belum ada kemajuan, ya?" tanyanya diplomatis.

Aku hanya menggeleng sambil mengunyah kripik pemberiannya. "Bersihin ini, masih ada sisa bumbunya gak?" keluhku galak sambil menunjuk rambut yang tadi di usap-usap dengan tangannya.

"Udah bersih, gak ada apa-apanya," ucapnya memeriksa puncak kepalaku.

"Mau dibantuin?" tawarnya.

"Bantuin apa?" tanyaku mengernyitkan dahi, pura-pura gagal paham padahal aku tahu arah pembicaraan ini, Kak Zayyan sudah dua kali ini menawarkan sebuah bantuan yang sama.

"Emang Kakak bisa bantu apa?" tuntutku lagi, berusaha menggali apa yang sedang direncanakannya.

Tidak biasanya Kak Zayyan santai bahas masalah percintaanku seperti ini. Wajar dong kalau aku curiga. Lah, kemarin-kemarin sikap protektifnya ngalah-ngalahin iklan anti bocor.

"Kakak bisa main ke sekolah terus ngobrol dengan crush kamu. Masih Kaivan, kan, yang kamu suka?" jawabnya dengan senyum pongah.

Aku menatap tajam. "No!! Gak usah main-main ya, Kak! Yang ada aku makin digiling. Kakak gak inget? Kebanyakan temen seangkatanku masih anggap Kakak pacarku."

"Halah, biasanya juga minta antar jemput. Kamu juga biasa aja, lagian enak dong kamu masih dianggap pacar Kakak, lah wong ganteng gini, harusnya kamu bersyukur, terus gak ada yang godain kamu," cibirnya jumawa.

Bersyukur dia bilang? Tidak tahu saja telingaku sampai panas mendengar kasak-kusuk unfaedah setiap dia antar jemput. Syukurnya telingaku sekarang jadi lebih kebal.

Replika Hati (On Going)Where stories live. Discover now