Prolog

40 7 0
                                    

"Aku suka kamu."

Tiga kata yang lantang aku ucapkan membuat sosok didepanku terdiam. Hawa dingin merambat tanpa diminta. Lampu lorong sekolah yang temaram menambah keheningan diantara kami.

Keterdiamannya membuat ragaku kembang kebit.

"Sejak tiga tahun lalu," lanjutku memberi penegasan atas perasaan yang aku sembunyikan selama ini.

Dia menatapku seolah tidak percaya dengan apa yang barusan aku katakan. Jantungku bertaluh dengan hebat, dinding-dinding sel dalam tubuhku dingin seketika menanti tanggapan Crush yang selalu menjadi parameter ketampanan siswi Semekia dalam mencari pacar ini.

Sepertinya perasaan kami saling bertentangan, aku sudah kalang kabut meratapi keberanianku yang entah datang dari mana, tapi laki-laki didepanku ini malah tak menunjukkan riak apapun.

Semoga tidak ada penyesalan setelah ini. Kata pamungkas yang selalu aku rapalkan dalam hati.

Lima detik terlewat. Mata bulatnya menyelami mataku dengan intens. Apa dia mencari kebohongan dari apa yang aku ucapkan barusan, kenapa dia malah melihatku seperti itu, bukankah lebih gampang kalau dia langsung mengatakan apa yang memenuhi pikirannya sekarang?

Lima belas detik selanjutnya dia masih enggan membalas pernyataanku. Bagaimana bisa dia tidak berkedip selama itu demi mencari kesungguhan dari apa yang aku ucapkan. Apa dia menilai aku suka membual?

Hingga satu menit kemudian, kejujurannya yang sejak tadi aku nantikan, membuat hatiku bagai terhujam puluhan bujur panah.

"Sorry, sepertinya kamu salahpaham."

Matanya menatapku dengan tenang. Hembusan nafas dia keluarkan dari sela bibir dengan elegannya. Hatiku mencelos mendengar satu kalimat berisi empat kata yang diucapkan barusan. Aku lantas tersadar, kalimat itu mengandung ungkapan yang sudah bisa aku prediksi.

"Lebih baik kamu hapus perasaanmu!"

"K-kenapa?" lidahku mulai keluh. Aku masih saja teguh pendirian bahwa rasaku pasti terbalas. Padahal aku tahu benar akhirnya.

"Karena ...," pandangannya menatapku sekilas sebelum dialihkan. Sedangkan aku menanti dengan jantung berdebar alasan apa yang akan digaungkan untuk menolak pernyataanku.

"... aku pastikan, aku gak bakal bisa balas perasaanmu."

Jeda.

Sakitnya benar-benar meremukkan harapan yang sempat aku lambungkan. Dengan setitik perhatian aku langsung terbui begitu saja. Lalu sekarang siapa yang patut disalahkan saat dia menolak perasaanku seperti ini?

"Hufft ...," tanpa sadar aku menggelengkan kepala, lalu tertawa getir. Berusaha menahan air mata yang mulai merebak. "...kamu kok mudah banget, sih, ngasih perhatian sampek buat aku salah paham gini? Kalau kamu akhir-akhir ini gak ngasih perhatian yang over, mungkin aku gak akan bertindak konyol kayak gini."

Rasanya aku tersiksa setengah mati menanggung malu. Aku ditolak langsung didepan mataku sendiri. Apa dia tidak perlu waktu dulu, memikirkan bagaimana perasaanku mendapatkan penolakan secara langsung seperti ini.

Astaga, rasanya aku ingin menjerit mendapat penolakan cinta pertamaku.

Dia begitu mudah memupuk harapan, dan juga begitu mudah membasmi rasaku tanpa sungkan.

Atau aku yang memang bodoh. Akibat sikap gegabah dan rasa yang tidak bisa lagi aku bendung, aku melakukan hal fatal. Mungkin rasa pekaku terlalu mendominasi, hingga aku salah mengartikan tindakannya dan membuat pengakuan konyol seperti ini.

"Kamu brengsek!"

Di malam itu, ditengah lorong sekolah, dan tepat saat awan gelap kembali menumpahkan muatannya, air mataku ikut melebur dengan tetesan air yang berjatuhan.

Siriusmayoris
2 Januari 24

Replika Hati (On Going)Where stories live. Discover now