5. SACHI : PETUAH

8 4 0
                                    

"Hai, Mama sayang," ujarku setelah duduk dan menutup pintu mobil.

"Lama, Dek, nunggunya?" tanya Mama sambil memelukku singkat, setelah aku mencium tangannya.

Tanganku lantas meraih seat belt sebelum menjawab pertanyaan mama. "Lumayan, Mama tadi kejebak macet dimana?"

Mama mulai melajukan mobilnya menjauh dari area sekolah. Sedangkan aku langsung menyandarkan punggung pada kursi mobil. Menarik nafas berat.

"Biasa, Margomulyo, kok lemes banget, Dek? Weekend loh ini?" tanya Mama melirikku yang sudah memejamkan mata.

"Panas banget diluar, Ma."

"Gak usah ngeleslah, Dek, sama Mama. Jangan ada yang ditutupi, kamu kayak sehari dua hari aja tinggal di Surabaya."

Aku tersenyum samar dengan mata terpejam, mana bisa aku menutupi sesuatu dari Mama.

Ingat Sachi, kamu lagi berhadapan dengan Ibu PIO. Kata-kata Kak Zayyan tiba-tiba menggema dengan sendirinya.

Sebutan itu sebenarnya sebutan yang dibuat Kak Zayyan. Kakak laki-laki satu-satunya yang aku miliki yang juga alumni SMK Insan Adikara (SEMEKIA). Katanya, Mama bisa membaca kebohongan seseorang hanya dengan melihat gerak tubuh dan matanya, secara Mama bekerja sebagai Manager HRD (Human Resource Departement) disalah satu bank milik BUMN. Mungkin itulah sebabnya Kak Zayyan menjuluki Mama sebagai Ibu PIO.

Padahal PIO (Psikologi Industri dan Organisasi) merupakan cabang ilmu psikologi yang melakukan kajian fenomena perilaku dan proses mental dalam pekerjaan. Entah korelasinya dari mana sebutan Ibu PIO dengan cabang ilmu psikologi, hanya Kak Zayyan yang tahu.

"Mama tau banget." Aku membuka mata, bangun dan meraih botol minum yang ada di dashboard mobil. Percuma bohong sama Mama, kalau aku tetap tidak jujur bisa-bisa akan mendapat ultimatum menjadi anak durhaka karena melanggar kesepakatan bersama.

Ya, mama membentuk kesepakatan bersama antara aku dan Kak Zayyan untuk selalu berkata jujur sepahit apapun kejujuran itu.

"Kamu itu mbok, ya, cari alibi yang tepat, Mama tahu kata panas tadi bukan merujuk pada suhu udara, tapi lebih ke panas hati dan pikiran," kata Mama diselingi senyum.

Aku tenggak sedikit air dingin yang langsung membuat tenggorokanku lega. Mengangguk singkat tanda membenarkan tebakan Mama. Tidak tahu kenapa, hatiku mendadak mellow setelah bertemu Kaivan.

Segala macam spekulasi semakin bergerak liar di kepala, terutama rasa ingin tahuku kenapa Jiro membawa kunci Kaivan, kenapa Kaivan masih disekolah sendirian, dan kemana Floritta, bahkan sampai aku meninggalkan pelataran sekolah sosoknya tidak juga muncul.

Usapan halus di kepala membuat aku menoleh kearah Mama. "Kenapa bengong? Sedih ya, tadi gak ketemu pujaan hati?" goda Mama.

"Ish ... apa, sih, Ma," keluhku pura-pura cemberut sambil kembali meletakkan botol ke tempat semula.

Mama dan Kak Zayyan memang mengetahui aku menaruh hati pada lawan jenis. Berniat menyembunyikan semuanya dari Mama dan Kak Zayyan, aku malah ketahuan gara-gara menyimpan banyak foto Kaivan di laptop dan galeri ponselku. Endingnya Kak Zayyan mengadu ke Mama, menceritakan semuanya.

Tahun terakhir Kak Zayyan di Semekia membuat hidupku terombang-ambing dalam lautan kebohongan. Tepatnya sejak Sabana Brengsek melakukan pelecehan verbal padaku, sehari setelah kejadian itu, Kak Zayyan menebar berita bohong kalau aku adalah pacar barunya.

Jalan pintas tersebut nyatanya bukan menjadi solusi yang tepat karena para cewek pecinta Zayyan Farubi langsung memusuhiku. Ditambah cewek-cewek seangkatan Kak Zayyan yang tidak berhenti melabrak dan menyalahkanku akan kandasnya hubungan Kak Zayyan dan pacarnya semakin menempatkan aku dalam jurang masalah.

Replika Hati (On Going)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt