24. Aneh

268 58 19
                                    

Assalamu'alaikum,
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Sholi Alaa Syaidina Muhammad

***

"Harus gimana sih, A jelasin ke kamu supaya jangan deket-deket sama Fatimah?" tanya Nisa ketika Ali kembali ke rumahnya.

Ali menunduk, tak ingin menjawab. Ia sadar, apa yang barusan dilakukannya adalah salah. Apapun alasannya mengantar Fatimah, dirinya telah salah. Kalau pun Mimi masih ada, dia pasti ditegur karena terlalu suka dekat-dekat dengan Fat.

"Kamu kenapa jadi berubah setelah kenal anak itu?" lanjut Nisa.
"Mimi kamu juga pasti enggak suka kalau liat anaknya kayak gini!" bentak Nisa kemudian.

Ali masih diam, iya dia sadar sudah salah. Dia sudah menjadi orang egois. Menjadi budak setan yang terus-menerus suka bahkan candu di dekat Fatimah.

"Jaga perasaan Fahira!"

Untuk yang satu itu Ali tak setuju. Dia diam karena merasa bersalah sebab sudah berduaan dengan gadis yang tak halal untuknya. Fahira tentu tak ada dalam ingatannya saat ini.

"Kenapa aku harus jaga perasaan dia?" Ali memberanikan diri bicara, dia jelas bukan seseorang yang bisa iya saja saat apa yang tak ia sukai menghampirinya.

"Aa, kalian itu akan segera menikah!"

"Ma, menikah itu untuk dua orang yang saling cinta. Aku enggak.”

"Jangan macem-macem, justru menikah itu tujuannya untuk membuat dua orang saling mencintai."

"Ma, pernikahan aku sama Fahira enggak akan berhasil. Kami hanya akan saling menyakiti.”

"Siapa kamu berani bicara begitu? Ada Allah yang maha membolak-balikan hati.”

"Ma, aku enggak mau nikah sama Fahira." Suara Ali sampai serak saat bicara, dia merasa lehernya dicekik.

"Kalau alasannya karena Fatimah, Mama enggak terima." Nisa menyambut genderang perang yang baru Ali tabuh.

"Mama, ini enggak akan berhasil.” Lirih Ali bicara kali ini.

"Karena belum dicoba, lihat Mama sama papa. Kami juga dijodohkan. Tapi, kami bahagia sampe sekarang."

"Enggak semua hal bisa disamain begitu, Ma.”

"Apanya yang enggak bisa. Banyak kok pasangan yang dijodohkan berhasil. Kamu dari dulu enggak ada protes, kenapa sekarang jadi banyak alasan gini?" Dada Nisa bahkan naik turun karena saking emosinya.

"Kukira dulu perjodohan itu hanya candaan, aku sedikit pun enggak ada perasaan apa-apa ke Fahira.”

"Tapi, Fahira berharap banyak ke kamu, A!"

Ammar hanya bisa diam, tak bisa bicara. Pria itu takut menyinggung salah satu di antara keduanya.

"Aku permisi." Ali memilih pergi. Biar dianggap tak sopan, ia hanya takut bicara yang melukai perasaan Nisa.
Pergi dari ruang tamu, Ali menuju teras atas. Dia merasa Nisa sudah kelewatan dengan hidupnya.

"Apa sih yang bikin kamu lebih suka ke Fatimah?" Ammar tiba-tiba datang dan mengagetkan Ali yang sedang melamun.

"Enggak tahu, enggak ada. Tapi, suka aja.”

"Bagus, saat kita menyukai seseorang tanpa alasan justru itu titik ketulusan kita ada pada level paling atas." Ammar menerawang ke langit-langit.

"Kalau kamu suka dia karena dia cantik, besok kalo tiba-tiba muka dia kesiram air keras dan enggak cantik lagi, apa rasa suka itu masih ada?
"Kalau kamu suka dia karena perangainya yang baik, besok kalau tiba-tiba dia melakukan kesalahan apa rasa suka itu akan berkurang?"

Ali mengangguk mengerti, bahkan ia mulai paham ke mana arah pembicaraan abinya.

Pria itu menepuk bahu putranya. "Tapi, biar gimana, Mama Nisa itu orang tua. Jangan pernah menentangnya. Meski, untuk hal yang enggak kamu suka." Ammar menghela napas, kemudian tersenyum. "Yakin saja, apa yang sudah Allah rancang buatmu itulah yang terbaik untukmu. Bila hati manusia yang kamu hadapi sulit dilunakan, minta pada Sang Maha pemilik hati itu untuk melunakkannya."

"Fatimah masih terlampau kecil untuk kamu nikahi," lanjut Ammar dengan mimik serius.

Terang saja pria itu tak ingin kejadian istrinya menimpa Fatimah juga. Meski, takdir tidak pernah sama. Namun, kenyataan bahwa istrinya meninggal setelah melahirkan dengan salah satu akibatnya karena usia yang masih muda membuatnya jadi waswas.

"Intinya Abi juga enggak setuju aku sama Fat?" tuding Ali.

"Bukan gitu, Attarayan Ali!" tegas Ammar.

"Daripada kamu sibuk menentang, ada baiknya kamu ikuti saja apa yang akan terjadi," sambung Ammar.

"Bi ... enteng banget sih ngomong gitu. Menikah itu sekali seumur hidup, aku enggak mau gegabah.”

Ali memilih segera ke kamarnya. Mengambil tas ransel dari atas lemari. Dia bersihkan debu yang menempel di permukaan benda itu. Kemudian dengan gerakan taktis memasukkan beberapa kemeja dan celana untuk bekerja. Tak ketinggalan kaus dan celana rumahan kebangsaannya.

Terakhir ia rapikan pula laptop beserta beberapa barang ke dalam tas lain. Dirasa selesai mengemas barang yang dibutuhkan, Ali mencangklong ranselnya.

"Kamu mau ke mana?" tanya Ammar begitu melihat putranya itu siap pergi.

"Li, mau ke mana?" desak Ammar saat Ali tak menjawab.

"Aku mau ke rumah nenek, daripada di sini malah bikin aku jadi bicara nggak sopan ke Abi dan mama."

"Tapi, Li ...."

"Aku pasti baik-baik aja," sela Ali kemudian berbalik meraih tangan abinya.

"Assalamu'alaikum," salamnya setelah melepaskan tangan Ammar.

Nisa sudah tak ada di ruang tamu saat Ali melewatinya. Tanpa pamit pada wanita itu, Ali segera berlari menuju garasi mengeluarkan mobilnya. Sebelum benar-benar pergi, ia sempatkan pergi ke rumah Ammar

Sekali mengetuk pintu, seseorang langsung membukanya. Tampak Fat yang mengenakan mukena di hadapan.

"Apa?" Seperti biasa, wajah masamlah yang Fat tampakkan.

"Enggak, cuma ngecek aja takut pintu belum dikunci," jawab Ali dengan senyuman.

"Dih, aneh. Ke sini cuma mau bilang gitu," gerutu Fat.

Ali tertawa, "Ya udah, tutup lagi. Hati-hati di rumah."

"Apaan sih? aneh banget." Fat mengernyitkan dahi.

"Assalamu'alaikum, Fatimah." Ali pamit dengan seringainya.

"Wa'alaikumsalam," balas Fat dengan tatapan menyelidik. Gadis itu bahkan tak menutup pintu hingga Ali benar-benar tak terlihat oleh pandangannya.

"Aneh banget itu orang," gumam Fat.

Ali sampai di rumah neneknya tengah malam. Wanita lanjut usia itu belum sempat menanyai apa gerangan yang membuat sang cucu datang tiba-tiba.
Hingga pagi hari setelah Ali selesai mandi dan bergabung bersamanya di ruang makan, barulah Wena bertanya apa yang membuat Ali datang ke rumahnya.

"Kangen aja, emang enggak boleh?" Ali mengerucutkan bibirnya.

"Enggak lagi berantem sama siapa-siapa, kan?" tebak sang nenek.

"Enggak, Nek. Cuma lagi pengen ke sini aja.”

"Gadis itu masih ada di rumah kalian?"
"Iya, masih."

"Kamu suka sama kakak yang paling besar?"

Ali diam. Suasana jadi hening.

"Kamu ke sini karena kesal sama mama?"

"Nenek, tolonglah.” Wajah Ali memelas.

"Fahira itu sudah seperti keluarga bagi kita." Nenek tersenyum, kemudian menggenggam tangan Ali.

"Nah makanya, jadi nggak perlu lagi aku nikah sama dia. Toh udah seperti keluarga, kan?" Ali mengusap punggung tangan nenek.

"Kamu akan menyakiti hati banyak orang kalau sampai lari dari rencana ini," ucap nenek masih mengusap tangan Ali.

"Nek, aku ke sini buat lupain sejenak tentang hal ini. Kenapa Nenek malah bikin aku tambah inget?" protes Ali.

"Abimu telepon, nitipin anaknya yang ganteng ini." Nenek mengusap pipi Ali.

"Abi, emang aku anak kecil pake dititip-titip," keluh Ali.

"Bagi kami, kamu tetap bayi menggemaskan, Sayang." Mata nenek berkaca-kaca.

Dalam gurat wajah Ali, Wena melihat semburat putrinya. Putri yang hanya sempat ia dekap sebentar saja. Putri yang selama hidupnya ia abaikan. Putri yang justru merangkulnya setelah begitu banyak luka yang ia goreskan padanya.

"Nek, kalau menurut kalian aku ini bayi. Ya udah, jangan paksa-paksa aku nikah," celetuk Ali tak mau kalah.

"Usia Fahira sudah pantas untuk menikah.”

"Kukira nenek berpihak padaku.”

"Orang tua hanya ingin yang terbaik untuk anaknya." Nenek merapikan rambut Ali, sebenarnya tak berantakan.

"Kadang orang tua itu egois, ya," gumam Ali.

"Aku nanti kalo jadi orang tua enggak mau kayak mereka," lanjutnya seraya menyesap teh dalam cangkirnya.

Nenek melepaskan genggaman pada tangan cucunya itu. "Fahira gadis yang baik, Soleha, dan pintar."

"Tapi aku enggak suka," sanggah Ali bersiap berangkat.

"Lama-lama jadi suka," ucap nenek.

"Yang namanya hati kalau enggak suka, mau kata orang sebaik apapun kukira bakal susah nerima." Ali sekali lagi menyesap teh manisnya, hingga licin tandas cangkir itu.

"Aku berangkat, nanti pulang ke sini lagi," pamit Ali. Mengecup dahi sang nenek, mencium punggung tangannya dan mengucap salam.

Wena menghela napas panjang, beliau hanya bisa mendoakan kebaikan untuk sang cucu tanpa ada yang disakiti atau merasa tersakiti.


***
Terimakasih ya teman-teman udah ikutin karya aku yang ini. Jangan lupa vote sama komen.

Dalam Hijrah CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora