5. Derita Tiada Akhir

380 64 36
                                    

Assalamualaikum, bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad Waalihi Washahbihi Wasallim

Sebelum lanjut baca bab baru ini, aku minta kesan-kesan temen-temen untuk tulisanku di karya yang ini, dong.

***
Beberapa saat sebelum Ali melihat Fat, gadis itu ditelepon oleh Tata, pria yang sempat memacari Fat lalu mereka putus karena Tata kerap mengajak Fat melakukan hal yang gadis itu benci.
Dengan menaiki angkot, Fat sampai ke tempat yang dituju dan Tata sudah menunggunya. Pria itu duduk di atas motor sportnya dengan meletakan helm di atas tangki bensin dan menumpukan badan di sana.

"Candy, enggak pernah berubah. Cantik," ucap Tata menyambut kedatangan Fat dan menyapukan pandangan dari ujung kaki hingga ujung kepala gadis itu.  

"Rese!" umpat Fat, tak suka dipuji seperti itu. Terdengar seperti melecehkan.

"Kenyataan," balas Tata cekatan seraya hendak meraih jemari Fat namun gadis itu menjauhkan diri.

"Diem!" bentak Fat.

"Kita langsung ke sana?" tanya Tata seraya menunjuk ke arah kafe yang ada di seberang.

"Buruan!" Fat berjalan lebih dulu, ia menyebrang tanpa menunggu Tata yang menyalakan motor.
Bukan tanpa alasan Fat mau menemui pria itu. Dirinya hanya ingin menegaskan pada Tata agar jangan mengganggu lagi sebab hubungan mereka sudah usai.

Sementara di dalam sebuah mobil sport keluaran terbaru, tepatnya di parkiran kafe, seorang lelaki berwajah menyenangkan sedang sibuk memanggil kontak seseorang. Iya, dia Ali yang mengintai Fat sedari tadi.

"Ke mana aja sih?" kata Ali sedikit menyentak pada seseorang yang baru menerima panggilan teleponnya.

"Abis mandi, A." Suara di seberang sana terdengar riang.

" Klien dari Sentul itu kamu aja yang nemuin. Aku ada urusan. Jangan telat, dia sebentar lagi mau datang ke kantor."

"Keburu nggak? aku baru mandi ini. Belum pakai hijab, belum pilih warna baju."

"Kenes, jangan kebanyakan alasan!" sentak Ali, berharap Kenes akan takut.

"Ok, Aa Rayan." Suara tawa riang terdengar di seberang sana membuat Ali memutus sambungan telepon karena melihat gadis yang sedari tadi ia pantau sudah masuk ke dalam kafe.

Kemudian lelaki bermotor sport menyusul masuk setelah memarkirkan kuda besinya itu. Ali sungguh penasaran pada hidup Fatimah Wiguna. Mungkin karena perasaan bersalah sebab ikut andil dalam meninggalnya ayah Fat. Terlepas dari maut adalah kuasa Allah.

Ali diam-diam ikut masuk kembali ke dalam Kafe. Ia sengaja memakai topi dan kaca mata agar bisa duduk dekat dengan Fat tanpa membuat gadis itu mengenalinya.

Fat duduk di kursi yang berada di pojokan, awalnya Tata duduk tepat di sebelahnya. Fat pindah, jelas ia tak ingin dekat-dekat dengan lelaki itu. 

"Ada apa?" tanya Fat ketus.

Beruntung Ali dapat mendengar suara Fat. Ia sedikit menunduk, memasang telinga. Bukan bermaksud menguping, tapi dilihat dari raut wajah Fat, gadis itu sepertinya tidak nyaman dengan keberadaan lelaki di hadapannya. Ali hanya ingin memastikan Fat baik-baik saja.

"Pesan dulu dong, Yang," kata Tata dengan suara manja.

Fat memukul meja, ia memutar bola mata seraya menunjuk wajah Tata penuh kesal. 

"Nggak usah sebut aku dengan kata itu."

"Ok, aku selalu suka gaya kamu." Tata tersenyum dengan kepala miring.

"Buruan!" Fat memukul meja lagi kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. 

Berhadapan dengan Tata benar-benar menguras emosinya. Mungkin dulu memang Fat senang bisa menghabiskan waktu dengannya. Berboncengan di bawah derai hujan. Mengukir hari-hari indah yang seakan tak pernah usai. Itu dulu, sebelum Tata memutuskannya hanya karena Fat menolak memberikan bukti cinta pada lelaki itu.

Dalam Hijrah CintaWhere stories live. Discover now