9. Diculik Ali

340 64 18
                                    

Assalamualaikum, bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad Waalihi Washahbihi Wasallim
***
"Enggak minat," kata Fat menolak tawaran Ali untuk kredit ponsel.

"Kalau gitu ikut sama aku!" Ali menarik tas sandang Fat dan membuat gadis itu terpaksa menurutinya. Harusnya Fat pergi membuat SKCK hari ini.

Fat waswas, perasaannya dihantui gelisah saat berdua dengan Ali di dalam mobil. Pasalnya, Ali mulai melajukan kendaraan ke daerah yang tak ia kenal. Hingga mereka tiba di tempat pemakaman umum.

Pemakaman luas dengan pohon Kamboja tinggi-tinggi. Fat tak ingin ikut, tetapi Ali memaksanya.

"Ini dia nenekku yang aku ceritakan kemarin," ucap Ali pelan.

Semoga bahagia di alam sana, ya, neneknya Ali. Kenalkan aku Fat.

Selesai dengan kegiatan di depan pusara neneknya, Ali mengajak Fat pergi. Di depan gapura pemakaman, mereka bertemu seseorang. Pria yang juga Fat kenali, tetapi berusaha ia hindari. Fat terus menunduk saat Ali berbincang dengan pria tersebut.

"Ini siapa?" tanya pria itu.

Fat terpaksa menaikan kepalanya. Hingga beradu pandanglah dirinya dan pria berkaca mata itu. Tubuh tegap pria itu tak pernah Fat lupakan. Dia salah satu pria yang pernah bahkan beberapa kali main dengan Fat.

"Candy," gumam pria itu.

Fat menelan salivanya. Hari ini, Ali akan tahu siapa dirinya. Meski Fat juga tak peduli apa yang akan Ali pikirkan setelahnya.

"Mas Randy?"

"Kalian saling kenal?" Ali bertanya heran.

"Enggak!" Randy menggeleng.

Fat ngerutkan kening, kenapa Randy harus berbohong. Apa dirinya malu sebab pernah bermain dengan Fat.

"Kok Fat bisa tahu nama Mas Randy?" tuding Ali.

"Itu." Fat menunjuk kartu tanda pengenal yang masih Randy gunakan.

"Kupikir saling kenal?" Ali mengelus tengkuknya dengan wajah meringis.

"Kalo udah beres bisa cepet pulang enggak sih, Li?" bisik Fat saat Ali terlihat ingin kembali bicara.

Ali menuruti keinginan Fat, ia pamit pada Randy. Fat sempat kembali memandang Randy, tetapi pria itu malah membuang pandangannya.

Fat enggan bicara pada Ali sepanjang perjalanan pulang, ia tak tahu bahwa Ali tak membawa laju kendaraan menuju Jakarta.

"Fat, adikmu punya ponsel nggak?" tanya Ali

Fat diam saja, tak dengar juga apa yang Ali katakan. Gadis itu menyandarkan kepala pada kursi dengan pandangan ke arah samping. Tak jelas apa yang ditatap, kosong.

"Fatimah Wiguna!" Ali bicara dengan nada tinggi membuat Fat akhirnya menoleh dengan tatapan tak suka.

"Adikmu punya ponsel nggak?" Ali mengulang pertanyaan, suaranya kali ini lebih rendah.

"Nggak!" sahut Fat singkat.

"Kita sekarang jalan ke daerah Megamendung. Aku mau ketemu klien di sana," terang Ali.

"Kita nginep semalam," sambung Ali.

"Aku telepon ke Mama Nisa buat kabarin adik kamu," lanjut Ali.

"Berenti di sini!" teriak Fat, tetapi Ali tak menurut. Tetap tenang membelah jalan alternatif dari Bogor menuju Megamendung.

"Kubilang berenti di sini, Li," sentak Fat saat Ali tak mengindahkan perkataannya.

"Yakin mau berenti di sini?" Ali menepikan mobil di daerah sepi. Kanan kiri hanya kebun. Tak ada rumah warga. Fat meringis, ikut dengan Ali atau terdampar di tempat antah berantah ini. Tak ada pilihan yang menyenangkan.

Dalam Hijrah CintaWhere stories live. Discover now