Prolog

2.2K 91 23
                                    

Pagi menyapa dengan sang Surya yang enggan menampakkan diri. Fat berjalan menuruni anak tangga dengan hati tak keruan. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, sikap bibinya memang sedikit berbeda. Apalagi kini wanita itu selalu lebih banyak menghabiskan waktu dengan saudaranya. Fat merasa bibi banyak mengabaikannya.

"Fat, kamu nggak usah ya menemui Ali lagi." Bibi bicara sambil menyendok nasi ke piring tanpa menoleh pada Fat.

Padahal Fat berniat nanti sore menjenguk Ali. Ia ingin lihat langsung bahwa pria itu baik-baik saja. Fat terpaksa mengangguk, membuat bibi berkata bagus.

Tak lama Mima dan Qima juga bergabung ke ruang makan. Mereka sarapan tanpa patahan kata yang menemani. Hanya denting sendok dengan piring yang terdengar.

Selesai dengan kegiatannya, Fat dan sang adik lekas pamit. Aas tak seramah biasanya. Hanya tersenyum samar seolah-olah terpaksa.

"Nyadar nggak sih kalo sikap bibi sekarang agak beda?" tanya Qima saat mereka berjalan menuju gang.

"Perasaan kamu aja kali," sanggah Fat.

"Jangan suka suudzon," tambah Mima.

"Ini fakta, Kak, Mim," delik Qima.

"Agak beda aja gitu," lanjut gadis itu.

"Apalagi semalam aku dengar bibi sama paman itu berantem, loh," adu Qima.

"Jangan ghibah!" komentar Mima.

"Biar gimana pun sikap bibi ke kita, kita harus tetap hormat. Pokonya kita fokus nabung, biar nanti bisa pindah. Nggak repotin bibi lagi jadinya." Fat lekas memangkas prasangka Qima. Padahal dia juga jelas merasakan apa yang Qima rasakan. Ketiganya menunggui angkutan di pinggir jalan. Meski beda arah, tetap selalu berangkat bersama hingga depan.

Di seberang jalan terdapat beberapa gerombol anak yang hendak menyebrang.

Setiap hari melihat anak-anak yang memasuki sebuah gerbang gedung sekolah TK membuat Fat ingin menjadi bagian dari guru yang membimbing anak-anak itu. Dia suka pemandangan ketika para bocah itu berlomba menyalami sang guru. Tanpa sadar perempuan itu senyum-senyum sendiri membuat si kembar melewatkan angkot yang baru saja lewat.

"Mima itu angkotnya jadi kelewat!" seru Qima memukul lengan Mima.

"Aduh, sakit tau!" balas Mima.

"Kenapa malah pada bengong, atuh?" tanya Fat yang masih menunggu pesanan ojeg online.

"Aku penasaran Kakak liatin apa sampe senyum-senyum gitu?" selidik Mima.

Fat tertawa, ia jelaskan apa yang barusan dipikirkannya. Mima dan Qima menanggapi serius. Keren bila suatu hari nanti bisa kolaborasi mendirikan sekolah TK.

"Sekarang belajar dulu yang bener, biar mimpinya lekas jadi nyata."

Fat menyetop angkot dan menyuruh ketiga adiknya segera naik.

***

Malamnya Fat mendapati Bi Aas mondar-mandir di teras. Sambil meletakan ponsel di telinga dengan bibir yang terus-menerus menggerutu menyebutkan nama saudaranya.

Fat yang mengintip di balik tirai tak berani menegur, ia hanya mampu melihat dari kejauhan. Hingga Bi Aas sepertinya hendak masuk, Fat lekas lari menuju kamarnya. Ia memilih membersihkan wajah dan wudhu sebelum tidur. Perempuan itu kemudian mengambil boneka kaktus pemberian Ali. Iseng Fat menekan tombol bergambar nada pada bagian pot.

"Happy birthday to you." Begitu nyanyian yang keluar dari si boneka kaktus membuat Fat tertawa, meski kaget.

Ia kemudian menekan tombol lain, yang diyakininya berfungsi untuk merekam. Benar saja, setelah Fat mengucapkan beberapa kalimat, kaktus itu meniru apa yang Fat bilang.

"Hai, Ali. Cowok jail yang nyebelin."

Fat tertawa, berkali-kali mengucapkan kalimat lain dan membuat si boneka kaktus menirukannya.

Hingga kantuk mulai menjalari matanya, Fat taruh kembali boneka itu ke atas meja. Kemudian ia mematikan lampu, dan beranjak ke tempat tidur.

***

Dalam gelap dengan asap dan hawa panas, Fat merasa tubuhnya sedang ditarik seseorang untuk masuk ke dalam jurang. Ia meronta, meminta tolong pada ayah dan ibu yang berdiri membelakanginya.

"Ibu, Ayah ... Fat nggak mau pergi?" Dalam ruang yang tak Fat kenali ia berusaha melawan sebuah tangan dengan tenaga besar menarik ujung gamisnya.

Terlihat di dasar jurang, kobaran si jago merah menggebu seolah siap menerkam Fat.

"Ibu, Ayah. Dengar aku nggak?" Fat masih berteriak.

Hingga sebuah suara lembut tanpa wujud menyapa Fat. "Assalamualaikum, Fatimah Wiguna. Ikutlah denganku, aku diutus Sang Khalik menemani langkahmu."

Fat merasa tenggorokannya kering, sakit, dan membuat lidahnya kelu untuk menjawab.

"Ikut dengannya, Fat. Raih uluran tangannya!" Suara ibu terdengar serius, tetapi wanita itu tak mau menoleh pada Fat.

"Pergi dengannya, Fat. Dia mampu menyelamatkanmu dari kobaran api itu." Ayah juga sama, bicara tanpa mau menoleh.

Hingga akhirnya Fat menerima uluran tangan si suara lembut itu, suasana berubah terang menyusul panggilan seseorang membelai indra pendengarannya.

"Kak, bangun! Kakak kesiangan!"

Dalam Hijrah CintaWhere stories live. Discover now