BAB 24 : Nasihat

22.7K 1.3K 345
                                    

Maaf updatenya agak ngaret. Ternyata revisi ini butuh power lebih ya gess, apalagi untuk anak baru kek aku 😔🤸🏻 Ya udah, mau ngomong itu aja. Happy reading! 😍💙💙

****

Posisi tubuhnya masih sama sejak tadi. Duduk di atas sofa. Punggung Shena merunduk lesu dengan kepala tertunduk dalam. Sudah satu jam Nazeera keluar dari UGD dan dipindahkan ke ruang inap. Shena menghela napas berat kesekian kali. Sahabatnya itu belum juga sadarkan diri. Yang membuat Shena semakin nelangsa adalah, belum ada keterangan pasti mengenai yang terjadi pada Nazeera. Para dokter sedang menelisik lebih dalam mengenai hal tersebut.

Tidak ada yang Shena lakukan selain diam, pun hanya ada dia dan Nazeera di dalam sana. Tidak ada Arsen. Shena menyuruh sepupunya itu pulang untuk sekedar makan atau mengganti pakaian. Menghiraukan dirinya sendiri yang sebenarnya juga letih karena seharian berada di kampus.

Atensi Shena teralih. Gadis itu mendongak saat decitan pintu terdeteksi. Dia segera berdiri dan menghampiri dokter yang tengah berjalan mendekat. "Apa yang terjadi, Dok?" selorohnya bertanya. Shena tidak sabar. Tidak tenang karena belum mengetahui hal yang membuat Nazeera tumbang.

"Sebelumnya saya ingin bertanya mengenai pasien," ujar dokter.

Shena mengangguk. "Silakan."

Dokter laki-laki itu membenarkan kacamatanya sebentar kemudian berkata, "Apa pasien pernah menjadi korban dari aksi penembakan?"

Shena menelan ludah mendengarnya. Perasaannya mulai was-was. "P-pernah Dokter."

Dokter itu mengangguk paham seraya melihat lembaran rekam medis di tangannya. "Setelah para dokter meneliti, sesuatu yang terjadi pada pasien disebabkan oleh Pneumothorax," terang sang dokter, membuat Shena melayangkan tatapan sarat akan pertanyaan. "Pneumothorax terjadi karena kumpulan udara di rongga pleura. Kondisi ini disebabkan karena adanya celah di dada, di mana celah itu diakibatkan oleh luka tembak yang dialami pasien. Itu lah kenapa pasien merasakan nyeri secara tiba-tiba lalu tidak sadarkan diri."

Shena membelalak lebar mendengarnya, sementara dokter yang melihat ekspresi Shena mengulas senyum tipis. "Tidak ada hal serius terjadi pada pasien. Ini gejala umum pneumothorax dan kasus ini tergolong ringan. Kami para dokter juga akan memantau kondisi pasien untuk beberapa minggu ke depan." Dokter kembali menjelaskan, membuat Shena akhirnya bernapas lega.

Sejujurnya Shena takut. Sangat takut. Kenapa sesuatu di masa lalu masih saja terikat dengan masa kini? Shena hampir jantungan jika dokter tidak segera klarifikasi.

"Shena." Tepat setelah kepergian dokter, Arsen muncul dari balik pintu. Lelaki itu menoleh sekilas kepada Nazeera yang masih belum sadar. "Apa kata dokter?" tanyanya.

Menjelaskan yang sebenarnya tidak mungkin. Arsen yang amnesia mana tau Nazeera pernah menjadi korban penembakan, sementara pelakunya adalah kakek mereka sendiri. Shena menghela napas seraya kembali duduk di sofa.

"Nazeera cape karena terus ditolak sama lo!" jawab gadis itu ketus sekali, membuat Arsen berkedip polos mendengarnya.

****

Ada urusan penting yang tidak bisa Arsen tinggalkan. Pagi-pagi sekali lelaki itu pergi, lalu kembali menyisakan Shena dan Nazeera yang belum juga sadarkan diri. Saat ini pukul dua siang, Arsen kembali mendatangi rumah sakit. Tentu saja untuk menjenguk sekretaris tercintah.

Sepanjang lorong, Arsen merasakan hatinya bertebaran kupu-kupu tanpa alasan pasti. Senyumnya merekah, hingga saat tiba di pintu ruangan Nazeera—dari balik kaca—dia melihat CEO Perusahaan X One, Leonard Lemos Alexander tengah menyuapi Nazeera makan. Lutut Arsen melunak seketika. Niat yang tadi hendak masuk dia urungkan. Memilih menatap keduanya dari luar. Interaksi Nazeera dan Leon terlihat sangat akrab. Arsen bergeming dibuatnya. Ada hubungan apa dua orang itu?

GREAT GIRLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang