Mentari hanya tersenyum pahit, "Dia juga belain Teteh terus kalau lagi ketemu Nathan. Dijagain terus Bu akunya dari Nathan. Dia bahkan nggak jadi jijik sama Teteh karena masa lalu Teteh yang jelek,"

"Teteh masih ketemu Nathan terus?"

"Ketemunya nggak sengaja. Aneh banget lagi ke restoran aja eh taunya restoran Ibunya. Lagi ke pameran eh ternyata ada perusahaan Bapaknya. Pusing Teteh."

Ibunya dengan cepat memeluk gadis itu dan mengusap-usap punggung gadis itu dengan lembut, "Teteh kok nggak cerita? Ibu pikir yang terakhir ketemu itu aja. Ibu ikut sedih, maaf ya Teteh harus menghadapi ini semua sendirian."

Mentari hanya membalas usapan di punggungnya itu dengan semakin mempererat pelukan itu. Ia menggeleng pelan, "Takdirnya udah begini Bu. Teteh nggak apa-apa."

"Buktiin kalau Teteh makin kuat nggak ada dia. Buktinya Teteh makin bersinar gini sekarang. Nggak apa-apa ya, Teteh jalani sebisa Teteh ya. Ibu ikut doakan yang terbaik."

Mentari mengangguk lagi sambil perlahan keduanya saling melonggarkan pelukan masing-masing. Sebutir air mata jatuh di mata Mentari, dengan cepat ibunya mengusapnya.

"Hayo, mau kencan. Dandan yang cantik, ibu doain yang terbaik sama Satria."

"Tapi Teteh takut, Satria baik sama Teteh ya karena dia baik aja. Bukan karena tertarik sama Teteh."

Ibunya hanya menghela napas, kedua tangannya menggenggam erat kedua tangan gadis itu. "Kalau memang akhirnya begitu, kalian bisa berteman aja. Mungkin Tuhan memang kirim dia untuk tugas itu aja. Nanti pasti ada untuk Teteh orang lain yang disiapkan Tuhan. Jangan takut, Teh."

Mentari mengangguk perlahan sambil memeluk ibunya kembali. Ia menghela napas, mencoba hanya berpikir hal-hal baik saja dan tidak mengkhawatirkan apapun yang belum terjadi.

Satria tidak membenci pekerjaannya, itulah mengapa tidak pernah terbersit dalam benaknya untuk menunggu weekend tiba seperti budak korporat lainnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Satria tidak membenci pekerjaannya, itulah mengapa tidak pernah terbersit dalam benaknya untuk menunggu weekend tiba seperti budak korporat lainnya.

Tapi weekend kali ini berbeda. Ia begitu menunggunya hingga sudah beberapa malam ia tidak bisa tidur dan menunggu hari Sabtu ini tiba.

"Konsernya mulai jam berapa yah, Ya?" suara Mentari pagi itu begitu cerah, secerah Mentari pagi yang menyusup ke jendela kamar Satria pagi ini. Satria duduk menghadap balkon rumahnya dengan hp yang bertengger di kuping kanannya, sambil menyesap kopi hangat buatan asisten ibunya itu.

"Open gate jam 6 sore kok Tar. Itu juga ada acara kampus dulu, paling konsernya jam 8. Konferensi lo jam berapa kelarnya?"

"Rundown-nya sih sampai jam 2. Keburu lah yaa," sahut Mentari yang juga masih sibuk berdandan untuk menghadiri konferensi di hari terakhir itu.

"Keburu kok. Malah bisa jajan dulu keliling Bogor kulineran kalau lo mau,"

Mentari diam-diam tersenyum. Kode nggak sih ini?

Kesatria Mentari (Completed)Where stories live. Discover now