CHAPTER 14: MANISNYA MADU MALAM ITU

Start from the beginning
                                    

Amar bodoh ini baru menyadari, bahwa Asmara sejak tadi berdiri di belakangnya. Dia pun langsung gelagapan dan menatap ku dengan rasa bersalah. "Zam...."

"Kau jaga mulut tu kalau cakap. Istri aku bagi aku makan spesial siang malam, tiap-tiap hari tau? Jangan nak sembarang kau cakap pasal dia," kecam ku menatap Amar tajam.

Ingin rasanya ku cabut lidah lelaki itu, yang begitu lancang menyakiti perasaan istriku. Sekuat tenaga aku tahan amarah ini agar tak menjadi amukan yang menarik perhatian banyak orang.

"Zam maaflah," ucap Amar dengan memelas.

"Tak payah nak minta maaf kat aku, minta maaf kat istriku," desis ku seraya menunjuk Asmara dengan dagu.

Asmara terlihat menurunkan pandangan nya, mungkin dia sedikit takut melihat ku marah seperti ini. Oh Asmara, tenanglah aku tak marah padamu, sayang.

Amar menoleh ke arah Asmara yang tengah menatap ku, lalu berkata.  "Maafkan saya Encik-"

"Tak apa, saya tak marah. Saya tau Awak gurau saja tadi," sahut Asmara sembari tersenyum tipis dan mengangguk kan kepalanya.

Asmara-ku... seharusnya kamu tidak selembut itu, Marahlah sayang. Tunjukan ketidakterimaan mu.

Asmara kemudian berjalan mendekati ku, lalu meraih lenganku. "Tapi kami harus pulang sekarang, Permisi. " Dia tarik lenganku untuk keluar dari tempat itu, untuk menghindari kejadian yang tidak di inginkan.

Sesampainya di mobil, aku menghela nafas panjang. Menyadarkan tubuh pada sandaran kursi, lalu melirik pada istriku yang juga tengah menatap ku dengan binar polos.

"Zam," panggil Asmara pelan.

Aku raih tangan kanan istriku yang bebas dan aku bawa ke pangkuan. "Jangan di fikirkan ya? Kita tau kan kalau yang dia bilang itu tidak benar? Kamu jangan sedih ya, sayang?"

Asmara tersenyum tipis menanggapi nya. "Aku tak apa, Zam. Aku tidak akan memasukkan ucapan nya ke hati atau pikiran," katanya sembari tertawa membalas genggaman tangannya. "Justru kamu yang terlalu memikirkan dia dan terbawa perasaan. Padahal aku sendiri baik-baik saja."

Oh, Asmara... Betapa luasnya hatimu sayang. Bagaimana aku tidak cinta? Dirimu begitu dewasa dan bijaksana.

Menghela nafas singkat, aku pejamkan mata ini beberapa detik. Mencoba menetralkan emosi yang tengah merasuki jiwa. Ku rasakan usapan lembut, menjamah pundakku berasal dari tangan lentik Asmara. Seketika rasa marah pun bertukar menjadi kehangatan yang nyata.

Tapi tiba-tiba aku terbatuk karena rasa gatal dan sesak di kerongkongan kembali menyerang. Asmara dengan cepat tanggap memberikan air untukku dan segera aku terima. Ku tenggak air itu beberapa tegukan, sambil merasakan usapan tangan asmara di punggung ku.

"Aku saja yang menyetir ya? Kamu duduk disini," tawarnya sebab ragu dengan kondisi ku.

Aku menggeleng, memberi gestur penolakan. "Tak apa, aku masih bisa untuk sekedar menyetir. Kamu duduk saja yang manis, ya?" ucapku sembari memasangkan sabuk pengaman di tubuh Asmara.

Aku usap perlahan puncak kepala nya, lalu mengecup kening istriku beberapa lama. Kemudian kembali duduk dan memasang sabuk pengaman, baru mulai menjalankan mobil menuju arah pulang.

****

⚠️18+⚠️

Asmara menghela nafas, menatap ku yang berdiri termangu di depan jendela kamar. Menerawang langit malam yang kelam, sambil memutar kilas memori beberapa jam yang lalu.

Istriku tentu teramat peka akan hati ini. Ku rasakan usapan lembut nya di pundakku, berusaha mengirimkan ketenangan, menyematkan rasa damai serta kehangatan.

"Masih memikirkan masalah tadi?" tanyanya pelan.

Aku menoleh pada istriku dengan sorot sendu, lalu mengangguk layu. Asmara-ku tersenyum tipis sembari menggeleng kecil. "Aku tidak apa-apa, sayang."

"Tapi aku yang kenapa-napa. Aku yang sakit mendengar kata-kata nya, Mara," cetus ku menahan kesal.

Asmara menghela nafas lagi. Kemudian dia meraih kedua pundakku agar kami saling berhadapan, lalu dia menumpu kedua tangannya di kedua pundak ini. "Maafkanlah sayang, dia hanya bercanda saja."

"Lagipula, seluruh semesta juga tau apa yang sudah aku berikan pada mu. Cinta, kasih sayang dan tulus perlakukan. Manusia tidak akan mampu melihat cinta ku dengan mata telanjang, Zam. Perlu kacamata keikhlasan untuk melihat indahnya cinta kita," tutur Asmara sembari menyisir rambut ku dengan jemarinya. "Akan percuma jika kita jelaskan dengan kata. Jadi biarlah semesta dan pencipta saja yang tau betapa mulia nya mahligai cinta kita, Zam. Aku tak perlu pengakuan dari lisan manusia."

"Yang aku butuhkan hanya cinta mu, sayang." Mata indah itu menyorot begitu dalam menyelami samudera hati, hingga senyuman manis terpatri di bibir wanitaku. "Jadi -bisakah aku mendapatkan nya malam ini, Abang Zam?" tanya Asmara, seraya menurunkan tangannya ke arah dada ku dan memainkan kerah kemeja yang aku kenakan.

Mata ku membulat sempurna mendengar panggilan terakhir yang di serukan Asmara. "A-Apa sayang? Kamu memanggil ku apa tadi?" tanya ku memastikan lagi.

Asmara terkekeh pelan sembari mengusap dadaku. "Abang Zam," panggil nya pula.

Hatiku bergetar mendengar panggilan Asmara barusan, Apa- Dia baru saja memanggil ku dengan sebutan Abang? Oh tuhan, betapa indahnya suara itu merayu memanggil ku dengan manja.

Padahal dulu dia sempat menolak memanggil ku demikian, tapi hari ini tanpa ku meminta dia sudah mengabulkannya duluan. Senyuman cerah terbit di wajah ini, amarah yang tadi nya menyeruak kini lenyap bak di telan bumi.

Aku tundukkan wajahku, menyembunyikan rona merah yang mungkin sudah merebak di kedua pipi, sebab aku merasakan semburat hangat menjalar di sana. Tangan Asmara masih bergelayut manja di tubuh ini, memainkan kancing kemeja ku.

Sepasang tangan ku pun, aku ulurkan untuk melingkar di pinggang nya yang terbalut gaun tidur, sembari menatap wajah cantik yang sangat menggoda. Ah, Asmara-ku jadi manja pasti ada maunya. Lihatlah, dia sekarang menatapku sambil tersenyum malu. Aku tak mampu menahan tawa melihat wajahnya yang bersemu itu.

"Apa kamu tidak merindukan ku malam ini, sayang?" tanya Asmara dengan sorot mata bening berkilau.

Asmara-ku sedang rindu rupanya. Aku pun mengangguk sembari terkekeh geli, tak mampu lagi aku tahan hasrat diri. Aku raih rahang halus istriku untuk menautkan bibir kami. Mengecup setiap sudut bibir ranum yang meluncurkan kata-kata manis tadi, sembari melumat nya penuh cinta kasih.

Tangan Asmara bergerak menjalar menulusup ke dalam diri, melepaskan Outer coklat yang membalut tubuh ini hingga jas itu jatuh ke lantai. Lalu dia mengalungkan tangannya di leherku, sembari memejamkan mata menikmati ciuman kami.

Aku bimbing tubuh kami berdua untuk merapat ke tempat tidur, lalu menjatuhkan diri di atasnya. Dari posisi ku di atas, aku tatap wajah ayu Asmara yang tersenyum mempesona. Ku belai wajah itu penuh cinta, kemudian aku kikis lagi jarak kami. Menciumi setiap inci wajah istriku, mulai dari kening, hidung, kedua pipi nya secara keseluruhan dan bergantian.

Aku telusupkan wajahku ku di perpotongan lehernya, demi menghirup aroma wangi yang menguar disana. Sementara Asmara memejamkan mata menikmati sapuan bibirku di kulitnya, sambil memeluk leherku dan mengusak surai ku dengan jemari.

Usapan lembut Asmara di tengkuk ku membuat ku semakin terlena, lantas aku jatuh kan diri ini sejatuh-jatuh nya dalam pelukan Asmara. Aku tenggelamkan diri ku dalam lautan kenikmatan cinta, yang Asmara suguhkan dengan begitu manja. Tak akan ku biarkan manja nya berakhir duka, maka ku berikan apapun yang dia minta. Asmara memintaku malam ini, maka akan aku berikan diriku seutuhnya.

****


JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now