CHAPTER 10: MULIA HATI

53 6 0
                                    


Tubuh yang gemetar ini tumbang juga akhirnya, setelah dua hari aku paksa bekerja dengan tuntutan jadwal konser. Hingga tak mampu lagi aku tahan sesak di dada dan rasa lesu, akibat efek penyakit yang kian mendera. Serta rasa rinduku pada Asmara.

Aku tak sadar siapa yang membawaku pulang, yang aku tahu hanya.... Aku teramat lemah hingga tak mampu membuka mata, namun aku sadar. Lisan ku terus mengelukan nama Asmara, berharap dia berlari kemari dan memeluk ku erat.

Di tengah rasa dingin, yang membuat tubuh ini menggigil hebat. Hanya pelukan hangat Asmara yang mampu meredakan segala nya, membuat ku segar dan bersemangat.

Aku pikir itu mustahil, tiba-tiba istriku ada disini. Tapi ternyata tidak, Asmara-ku laksananya seorang Dewi maha sakti. Dengan kekuatan cinta kasih yang dia kobarkan, kini dia sudah ada di samping ku. Mengenggam erat tanganku yang dingin dan lemah, dia arahkan ke wajah ayu nya sembari berbisik mengelukan namaku.

"Aku sudah disini, sayang. Bukalah matamu, tidakkah kamu ingin melihat wajah ku?"

"Mara, Aku rindu...." keluh ku dengan suara bergetar yang sekuat tenaga aku keluarkan.

"Iya, Aku juga merindukan mu. Aku sudah disini, sayang. Bukalah matamu, tidakkah kamu ingin melihat wajah ku?"

Suara Asmara-ku terdengar bergetar juga, seperti nya dia ketakutan melihat kondisi ku yang seperti ini. Maafkan aku, Mara. Aku tidak bermaksud membuat mu risau.

Aku ambil satu tarikan nafas panjang, meskipun sakit sekali rasanya dada ini. Tapi aku berusaha tetap tenang, agar tidak membuat risau istriku. Segera aku buka mata ini, demi mendapati wajah cantiknya yang terpatri raut cemas luar biasa.

Dengan cepat dia serka air mata yang keluar dari pelupuk matanya, agar tidak terlihat olehku. Tapi terlambat, aku sudah menyadari bahwa Istriku tengah menangis sejak tadi.

Tangan lentik Asmara terasa lembut membelai rambut ku. "Sayang, kenapa? Apa yang sakit? Bilang padaku," ucap nya dengan suara sengau.

Aku menggeleng pelan, sembari berkedip beberapa kali. Sebab mata ini begitu berat untuk terbuka dalam waktu yang lama. Untuk menenangkan hati Asmaraku, aku tarik kedua sudut bibir ini membentuk senyuman, sembari membalas genggaman tangan nya walaupun aku masih lemah, tak akan aku biarkan genggaman ini terabaikan.

"Kamu sudah disini, sayang?" Aku menatap wajah itu dalam, menyalurkan rasa rindu yang menggebu-gebu. "Maaf, aku membuat mu risau lagi. Aku hanya merindukan mu, Mara. Sampai-sampai membuat ku tumbang," ucapku sembari terkekeh kecil. Tapi di sambut dengan batuk yang kian kencang, membuat kerongkongan ku gatal luar biasa.

Asmara mengambil kan segelas air putih di atas nakas, lalu menyodorkan padaku Membantu ku bangkit perlahan, lalu membiarkan ku berbaring lagi. "Kamu sakit apa, Zam?" tanya nya sembari menunduk menatap ku dengan berkaca-kaca.

"Hanya kelelahan, biasalah." Aku masih berusaha tersenyum walaupun tak bisa bernafas dengan benar.

Demi tuhan, aku telah berusaha sekuat tenaga menyembunyikan gelagat sakitku agar tidak terbaca oleh Asmara. Sakit ini sungguh menyiksa tuhan.... Asmara, maafkan aku. Bukan maksudku menyembunyikan rahasia darimu, hanya saja lidah ku terlalu kelu untuk mengeluhkan sakit ini.

"Uhukkk uhuuuk!!!" Lagi-lagi aku terbatuk, namun kali ini lebih kencang. Sebab ada dorongan langsung dari kerongkongan yang memaksa keluar melalui rongga mulut.

Berusaha aku tahan, namun tak mampu. Aku tutup mulut ku dengan sebelah tangan, untuk menerima muntahan ini. Sesuatu yang sudah ku duga akan keluar, membuat ku hampir mengumpati diri. Sebab ini terjadi di hadapan istriku.

Semburan darah segar, mengalir di tangan kanan ku yang aku gunakan untuk menutup mulut tadi.

PRANG~~~

Gelas di tangan Asmara jatuh dan pecah berkeping-keping di lantai, sama hal nya hatinya yang juga sedang retak seribu. Sampai-sampai membuat ku tak berani menyaksikan reaksi selanjutnya dari istriku.

Tangan Asmara meraih tangan kananku yang ringkih dengan gemetaran, yang terdapat noda darah. Dia teliti dengan jelas, sehingga membuat nya menuduk dalam menahan tangis diri.

"Zam..." rintih nya begitu lirih.

Demi tuhan, aku tak berani. Aku tak siap melihat reaksi menyakitkan dari Asmara-ku. Aku tidak siap melihat raut kecewa di matanya, aku tidak siap melihat kesedihan yang terpatri pada netra bening itu. Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah pucat ku, sambil membisikkan kata maaf dalam hati.

Maaf Asmara, Maafkan aku.
Asmara melakukan tindakan yang tak terduga. Bukannya marah atau kecewa, istriku malah merengkuh tubuh ringkih ini dan menyembunyikan tubuh ku dalam dekapan nya.

Saat itu juga aku terhenyak, hingga tak menyadari setetes cairan bening menerobos dari pelupuk mataku. Aku meringkuk seperti akan kecil dalam dekapan istriku, sambil menangis tanpa suara.

"Cepatlah pulih, Azam-ku. Jangan membuat ku semakin risau padamu," lirih Asmara agak bergetar, karena aku tahu hatinya kini juga tengah pilu.

Aku lingkarkan kedua tangan ku di pinggang ramping Asmara, aku dekap dia dan bersandar di pelukan hangat itu. "Maafkan aku, Mara. Maafkan aku," lirihku menahan Isak agar tak terdengar olehnya, agar aku tidak semakin membuat nya risau.

"Syuut... sudah. Beristirahatlah, aku tak akan kemana-mana. Aku akan menjagamu disini," ucapnya begitu menenangkan sambil mengusap lembut rambut legamku.

Menuruti kalimat istriku, aku pun memejamkan mata dalam posisi ternyaman kami. Namun bukannya terlelap, aku malah menumpahkan air mata dalam diam. Dengan seruan rasa bersalah di dalam hati yang meminta di kasihani, Namun tak pernah mengasihani hati lainnya.

Hati Asmara-ku pasti tengah porak-poranda karena diriku hari ini, karena tau aku menyembunyikan sesuatu yang besar darinya. Namun begitu mulia nya Asmara, dia tidak marah dan menghakimi. Malah mendekap ku hangat dan mengantarkan ku ke alam mimpi.

Aku sadar, Asmara kini tengah menyembunyikan emosi dengan cara mendekap ku seperti ini. Aku yakin di dalam raga ini, tengah ada badai yang menerpa dan menghancurkan segala isi dalam jiwa.

Asmara-ku tidak bodoh dan lugu, dia tau aku tersiksa. Aku tau dia akan mencari tau fakta ini pada suatu masa, dan harus menyiapkan hati atas keterbukaan fakta yang nelangsa.

Iya, aku harus siap.

****

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now