CHAPTER 13: IZINKAN AKU

Start from the beginning
                                    

"Lagi pula, sayang. Aku tidak akan pergi secepat itu," gumam ku setengah sadar. Demi tuhan kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut ini, tak menyandari bahwa kalimat itu mungkin akan melukai Asmara-ku.

Dan benar saja, kini Asmara mengurai pelukan kami. Dia menunduk menatap ku yang bersandar di sisi ranjang dengan wajah sendu dan mata teduh.

"Bagaimana jika aku yang pergi lebih dulu?" tanya Asmara dengan datar.

Mata ku terbelalak mendengar pertanyaan Asmara yang tiba-tiba. "Jangan berkata begitu, Mara. Aku takut," cicit ku seraya meraih tangan lentik Asmara untuk ku genggam.

"Kamu pikir aku tidak takut kehilanganmu, Zam?" tanyanya dengan tegas. Aku dapat mendapati raut cemas bercampur emosi dari wajah istriku. Oh tuhan, mulut ini begitu lancang melontarkan kalimat putus asa itu. Sehingga melukai istriku. "Sayang, tidakkah kamu bisa melihat hati ku selama ini? Kenapa kamu membuat ku takut?" resah Asmara dengan sendu.

Aku menunduk memejamkan mata dalam, mengumpati diri dalam hati. Menyesali betapa bodohnya diriku ini.

"Kamu pesimis seperti itu, membuat ku takut, Zam." Asmara pun menunduk meneliti wajah ku yang penuh rasa bersalah itu.

"Maaf, Mara. Maafkan aku," sesal ku tak tersangkal. Aku masih tak berani menatap mata Asmara yang mungkin sekarang sedang berkaca-kaca.

Tangan lentik itu dengan sopan meraih wajahku, membuat pandangan kami saling bertemu. Anehnya, tak ku dapati raut kecewa dan pilu di mata istriku. Ku lihat dia tersenyum penuh arti, sambil menyemai mata ini. "Aku sudah pernah bilang kan? Waktu kehidupan itu di tentukan oleh Tuhan, bukan manusia. Kita harus percaya keajaiban tuhan itu ada, Zam."

"Iya, Mara. Aku percaya, Maafkan aku, sayang." Aku membalas tatapan nya tak kalah dalam, menelusup kan cinta serta ketulusan tak terhingga.

"Jangan pernah berkata begitu lagi ya? Aku tidak suka," kata Asmara-ku.

Aku mengangguk menyetujui. "Iya, Istriku."

Helaan nafas lega keluar dari mulut Asmara, lalu dia meraih tangan ku satu lagi. Hingga kini kedua tangan ku tengah dia genggam, dan dia bawa ke pangkuan nya.

"Aku tau kamu sangat mencintai pekerjaan mu, Zam. Sangat mencintai peminat mu dan tidak ingin membiarkan mereka kesepian tanpa suara merdu mu," ungkap Asmara sambil mengusap punggung tangan ku. "Aku izinkan kamu perform, satu kali dalam sehari."

Aku membulatkan mata mendengar keputusan Asmara, senyuman cerah terbit di wajah ku tanpa diminta. "Benar sayang?" tanyaku memastikan.

Asmara mengangguk sambil tersenyum tipis. "Tapi ada syarat nya ya?"

"Apa? Apa syaratnya? Akan aku terima," sambut ku kesenangan.

"Aku harus ikut kemanapun kamu perform," jawab Asmara mengutarakan syarat yang amat sederhana.

Aku tersenyum menampilkan deretan gigi ku, lalu mengangguk semangat. "Aku terima syarat itu, sayang. Aku mau bekerja di temani kamu," sahutku pula.

Ku lihat Asmara mengangguk sambil tersenyum hangat, menanggapi kebahagiaan ku juga. Dengan segera, aku peluk lagi dirinya. Tapi kali ini, dia lah yang bersandar di dada ku. Karena aku ingin memanjakan istriku malam ini.

"Ayo kita tidur, sayang."

"Nyanyikan aku lagu pengantar tidur Zam," pintanya sembari menyamankan posisi di dadaku.

Aku tersenyum sambil mengusap lembut pundak istriku. "Syair si pari pari, mau?"

"Apapun itu, aku hanya ingin mendengar suaramu."

"Baiklah sayang," putus ku.

Aku berdeham sekali untuk memantapkan suara, lalu mulai melantunkan sebuah lagu.

Lagu istimewa yang aku ciptakan atas perwujudan rasa cinta dan rindu ku pada Asmara-ku, kala dia berada jauh di negeri seberang. Terpisah selat dan jarak yang membentang, hanya bermodalkan bayang-bayang dalam memori usang. Aku menciptakan lagu ini di bawah langit ungu, sembari menerawang wajah kekasih ku.

Asmara-ku.

"Lara... kian parah merusuh dada
Terpintas litar ku terasa
Sepi... nyaring menjerit dan membingit
Lenyap damai tanpamu
Masa... tersimpul di alam yang kelam
Terolak-alik arah tujunya
Hanya... hanya zahirmu yang kan bisa
Meleraikan segalanya"

"Di bawah sinaran ungu
Kau persembahkan syairmu untukku
Gemalai tarimu bagai
Sang pari-pari turun ke bumi"

"Menjelmalah kau dari maya
Hiburkanlah hatiku gundah
Jangan biarkan aku.... keliru
Memburu... dirimu...."

"Masih berlegar di antara mimpi
Bagai nyata kau hadir dan bersenda
Telah kuhulurkan kasihku padamu
Tak kau genggam jiwaku yang tercengkam
Aku yang terseksa
Dan menanti...."

Dapat aku rasakan tautan tangan Asmara di pinggang ku kian mengendur, lantas aku pun menunduk demi mendapati wajah ayu yang ku puja telah terlelap ke alam mimpi. Tak dapat aku tahan senyuman di bibir ku, kala pemandangan indah itu kembali terjamah mata. Ah, aku selalu suka melihat wajah Asmara-ku saat tertidur seperti ini.

Begitu indah, begitu mempesona. Bak seorang putri tidur yang menunggu ciuman pangeran nya. Kelopak mata bak bunga mekar itu tertutup rapat, membuat bulu mata lentik nya menyapu sekitar kantung mata itu. Cantik sekali, istri ku.

Tak mampu menahan diri. Aku kecup kening Asmara-ku dalam, sambil memanjatkan doa pada tuhan meminta perlindungan untuk Asmara-ku dalam tidur nya. Agar tak di suguhkan mimpi buruk ataupun gangguan lainnya, aku hanya ingin Asmara-ku beristirahat dengan tenang.

Sebab dia sudah lelah bekerja dari sini, dan mengurus diriku yang merepotkan. Aku harap Asmara-ku bisa melepas lelahnya dalam waktu dekat ini.

"Maafkan aku Asmara, maafkan aku selalu merepotkan mu. Aku mencintaimu," bisikku di telinga nya. Kemudian turut memejamkan mata tanpa melepaskan pelukan kami.

****

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now