CHAPTER 11: BERTUKAR PILU

Start from the beginning
                                    

"Sayang, Ada apa? Jangan membuat ku khawatir, please... Kamu habis darimana? kenapa kamu menangis begini? Apa ada yang menyakiti mu?" tanyaku yang berputar-putar sejak tadi tak ada jawaban. Aku hanya takut istriku Kenapa-napa, aku takut ada seseorang yang menyakiti nya.

Asmara tak pernah berminat menjawab pertanyaan ku. Dia terus menangis sambil menenggelamkan wajahnya di pundak ku, sembari menahan getaran yang menguasai raga. Menghela nafas panjang, aku usap perlahan punggung Asmara supaya dia tenang dan bisa bercerita.

Ku bimbing Asmara-ku masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tengah, sembari aku tenangkan dirinya yang masih bersimbah air mata.

Aku tangkup wajah cantik itu, untuk menghapus jejak air mata yang mengotori wajah ayu Asmara-ku. Tapi bukannya terhenti, tangis Asmara malah semakin menjadi-jadi kala netra kami saling bertemu.

"Sudah sayang, menangisnya? Kamu sudah bisa cerita sekarang? Tolong katakan padaku, apa yang sudah berlaku?" tanya ku dengan lembut demi menghentikan tangis pilu itu.

Asmara menunduk perlahan tak mau menatap mata ku. Dia buka tas kecil yang dia sampirkan di bahu kiri, mengeluarkan selembar kertas dari sana dan menyerahkannya padaku.

Dengan rasa bingung, aku menerima kertas itu. Netra ku bergulir begitu cepat membaca isi kertas tersebut, hingga efeknya membuat jantung ku berdegup lebih cepat.

Ini- Ini surat diagnosa penyakit ku, penyakit kanker paru-paru. Bagaimana Asmara bisa mendapatkan nya?

Aku lihat Asmara masih menunduk terisak, menangisi fakta yang baru dia ulik sendiri. Ternyata kepergian nya demi mencari tahu ini semua dan tangis nya itu, tercurah untuk diriku yang teramat menyedihkan.

Iya, aku sendiri lah yang menumpahkan tangis istriku. Tidak dengan kekerasan atau kalimat menyakitkan, tapi dengan sebuah fakta yang mengoyak jiwa raga.

Asmara-ku berduka karena suami nya menyimpan rahasia, Asmara-ku kecewa karena suami nya ternyata tidak sesempurna yang dia kira. Iya, fakta itu lah yang dia terima.

Hampir tumpah luapan duka di pelupuk mata ini, tapi aku tahan sekuat tenaga agar tidak semakin menggores luka di hati Asmara. Namun nafasku begitu sendu, terhalang oleh imbas tangis di hidung ku. Aku pejamkan mata rapat-rapat agar mendorong air mata ini masuk lagi, tapi percuma. Air mata itu tetap memaksa keluar walau tak di izinkan.

Asmara meraih tangan ku yang terkepal di atas paha, lalu dia genggam dengan erat. "Sejak kapan?" tanya nya lirih.

Aku masih memejamkan mata rapat-rapat sembari menggeleng kecil. "Delapan bulan sebelum pernikahan," jawabku menahan getar di bibir agar tidak menjadi Isak tangis.

"Maaf, aku hadir dalam keadaan seperti ini. Tak seharusnya aku datang ke hidup mu jika hanya singgah sebentar dan menorehkan sebatas kenangan. Maaf Mara, tapi aku hanya ingin berbahagia di akhir hidup ku. Di sisa usiaku, Aku ingin merasakan di cintai oleh seseorang yang aku ingini," ucap ku menahan pilu, yang menyayat hati dengan pisau sembilu. Menahan hujaman fakta nelangsa yang mengikat kami dalam lubang nestapa.

Asmara menggeleng kukuh, seraya meraih wajah ku yang tertunduk menyembunyikan linangan air mata. "Aku tidak menyesal sama sekali telah menjatuhkan hatiku padamu, Zam.... Aku bahagia dicintai dan mencintai dirimu, kehadiran mu adalah satu dari sekian banyaknya hal, yang aku syukuri dari pemberian Tuhan. Kamu adalah kebahagiaan, keagungan dan pujaan seumur hidup ku." Sambil terisak, dia belai kedua pipi tirus ku dan menatapku dalam.

"Kamu tak perlu meminta maaf, Azam. Sebab hadir mu adalah anugerah bagiku, memiliki mu adalah kemuliaan bagi ku." Jemari Asmara bergerak menghapus air mata di wajah ku. Aku memberanikan diri menatap dirinya secara terbuka, hingga aku dapati wajah cantik itu tersenyum tipis di sela tangis.

"Waktu kehidupan itu di tentukan oleh Tuhan, sayang. Tak satupun manusia yang tau, bahkan dokter sekalipun masih bisa keliru. Karena itu aku minta padamu untuk mengikuti ikhtiar selanjutnya, lalu berdoa memohon pada pencipta kita." Tatapan mata itu penuh keyakinan dan harapan, haruskah aku tenggelam juga dalam asa yang di haturkan istriku? Karena dia begitu berharap dan takut kehilangan diriku.

"Kamu pasti sembuh, Zam. Kamu pasti akan pulih kembali, aku percaya itu. Kamu juga harus yakin ya?" bujuknya begitu syahdu di sela tangis kami yang bersahut-sahutan.

Aku mengangguk beberapa kali, sambil memejamkan matanya berusaha menghentikan derai air mata yang kian deras membasahi pipi. "Aku mau ikut radioterapi, Mara. Aku mau sembuh,"  dengan bibir bergetar.

Karena sepasang mataku terpejam, aku hanya bisa mendengar helaan nafas lega dari istriku. Lalu dia menarik tubuh ku dan menautkan raga kami dalam pelukan.  "Terimakasih, sayang. Iya, benar. Kamu harus sembuh, Azam-ku. Kamu harus bertahan, ya sayang?" Dia usap dengan lembut punggung yang kian tipis ini , untuk menenangkan tangis dan melapangkan hati.

"Iya. Aku mau sembuh, Mara." Aku berusaha yakin dengan kalimat harapan itu. Berusaha percaya dan menganggap itu akan menjadi nyata, walaupun sulit. Semoga tuhan menurunkan keajaiban nya, agar aku bisa menghabiskan waktu lebih lama bersama istriku.

Tuhan, jangan pisahkan kami dulu. Izinkan kami bahagia dan menyemai cinta dalam waktu yang lama. Aku mencintai nya, Tuhan. Sungguh, aku sangat mencintai dan menyayangi raga serta jiwa dalam rengkuhan ini.

Aku tak ingin menghancurkan hatinya karena kepergian ku, walau aku tau bahwa aku sendiri yang memulai perikatan ini. Namun aku tetap berdoa, semoga cinta kasih kami, mampu menjadi obat dan penyemangat dari penyakit yang menggerogoti diri.

****

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Where stories live. Discover now