CHAPTER 2: MAHLIGAI CINTA KITA

Mulai dari awal
                                    

Aku tersenyum menatap nya penuh cinta, lalu aku memiringkan kepala ku berbisik padanya. "Kalau kamu lelah, duduklah."

"Saya tidak lelah," jawab nya.

"Tapi saya lelah." Aku menarik tangan Asmara untuk duduk di bangku pelaminan. Asmara tak bisa apa-apa saat aku tarik tangannya, dia hanya bisa menghela nafas panjang. Kami pun duduk bersisian, menyaksikan tamu undangan menikmati hidangan santapan yang telah di sediakan.

"Tulang mu tidak kuat ya, berdiri lama-lama?" ucap Asmara menarik perhatian ku. Dia tersenyum miring, jelas sekali gadis ini sedang mengejek diriku.

"Dasar lelaki tua," cibir nya pula dengan seringai lebar.

Aku membulatkan mata tak percaya, gadis ini benar-benar meledekku rupanya. "Kamu sedang mengejek saya?" Tapi aku tak kesal, aku tertawa menatap wajah Asmara yang masih menyeringai.

"Saya kuat, Mara. Kalau kamu tidak percaya kita buktikan nanti malam," sambungku sambil tersenyum dan berkedip menggoda dirinya.

Saat itu juga Asmara langsung membuang muka, mungkin dia malu dengan apa yang aku katakan barusan, atau pikirannya sedang melayang ke awang-awang. Aku pun tertawa tanpa suara melihat tingkah gadis itu.

Aku raih tangan kanannya yang bebas, lalu ku genggam sembari tersenyum manis. "Saya akan menyanyi untuk mu," ucapku saat mata kami saling bertemu.

Tanpa menunggu jawaban Asmara. Aku segera berdiri menuju panggung, untuk meminta mic dan memberikan pengarahan pada band yang mengiringi pernikahan kami. Setelah membisikkan sesuatu pada MC, aku segera kembali ke pelaminan menghampiri istriku.

"Para hadirin sekalian, saksikan lah. Penampilan dari mempelai pria kita, Azam Zafari...."

Terdengar sorak sorai para tamu, yang sepertinya cukup familiar dengan diriku. Pernikahan ini memang tertutup dari para penggemar ku, tapi itu tak menutupi fakta bahwa sebagian dari mereka ada di antara Keluarga Asmara yang kini heboh menyambut penampilan ku.

Ku raih tangan istriku lagi untuk mengajaknya berdiri berhadapan. Karena aku akan menyanyikan sebuah lagu istimewa, yang aku ciptakan atas dasar kerinduan pada diri nya dan perjanjian pernikahan ini.

"Dengarkan, ya? Lagu ini saya nyanyikan untukmu istriku," ucapku sembari mengusap punggung tangan Asmara yang tengah ku genggam.

Ku nyanyikan senandung rindu penuh asa yang dulunya semu, kini menjadi nyata sebab tangan ini telah berada dalam genggaman ku.

"Seperti mimpi perkenalan itu cuma seketika, Namun didalam hati dirimu ku terkenang jua...."

Ku tatap dalam manik mata itu, demi menyelami nurani nya yang begitu jauh dari jangkau ku. Berharap bisa ku raih segumpal darah demi menautkan hari kami, meskipun harus berkejaran dengan waktu.

"Engkaulah permata didalam genggaman tidak kusedari,
Kaca yang bersadur keemasan terus kucari.
Tertutup pintu hati  minda tak berfungsi diketika itu,
Tak tahu menilai mana yang tulin mana yang palsu."

Manik mata ini masih sama seperti dulu, begitu cemerlang, berkilau bak permata mulia. Tak henti nya aku menaruh kagum dan puja. Ku usap dengan lembut tangan istriku yang kini menatap ku tak kalah dalam, ingin rasanya ku rengkuh tubuhnya sekarang juga.

"Diakhir akhir ini, ketika aku dalam kesepian.
Terasa kejahilan itu, bagiku satu kerugian.
Andainya disitu ada ruang,
Bolehkah kiranya kumenumpang?
Andai ada sisa kemaafan,
Maafkan diri ini yang dulu melukakan.
Berilah aku kesempatan,
Kubuktikan erti keikhlasan.
Andainya terpaksa, aku rela
Menepis ego aku untuk kita.
Kumohon darimu ketulusan hati,
Menjalin kembali perhubungan suci."

Itulah curahan hatiku, semenjak hari di mana kasih kami terlerai di ambang batas negeri. Maaf beribu maaf ingin aku ucapkan sebab menorehkan luka di hati gadis ini, walaupun sudah bertahun lamanya. Tapi rasa bersalah itu tetaplah ada. Ingin ku tebus mulai hari ini, dengan bahagia dan senda ria yang akan mengantar kami ke mahligai cinta.

Ku kecup lembut punggung tangan istriku, lalu beralih ke keningnya. Mengabaikan bisikan riuh para tamu yang terbawa suasana hangat kami. Ku bisikan dengan lembut di telinga Asmara, bahwa aku begitu mencintainya.

"I love you, Asmara-ku." Ku tatap dengan hangat manik mata itu dengan pijar kecerahan, sembari membelai lembut sisi rambut nya.  "Aku mencintaimu," ulang ku tanpa bosan.

Persis sekali, kalimat itu yang akan aku ucapkan setiap hari tanpa jeda tanpa absen. Akan aku umumkan pada dirinya, hingga aku mendapatkan balasan pun akan tetap aku kumandangkan kalimat itu. Bahkan setelah ragaku tiada, aku akan tetap mencintai asmara.

****

JANGAN LUPA VOTE, COMMENT DAN FOLLOW YA, READER'S KU SAYANG?

98's 2: AZAM UNTUK ASMARA {END} ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang