22. Limitation

51 22 72
                                    





Nathan menghentikan mobil lalu masuk ke dalam rumah tanpa memperhatikan sekitar, tahu kalo hanya ada mamah di rumah karena cowok itu sempat menanyakannya.

Baru saja masuk Nathan langsung melihat mamah yang sedang duduk di sofa depan tv. "Mah," panggilnya pelan seolah menahan sesak.

Mamah menoleh, langsung tersenyum lalu menyuruh Nathan untuk duduk di sampingnya. "Kok malah ke sini, nggak sekolah?" tanya wanita cantik itu sambil mengusap pelan kepala Nathan yang kini berbaring di kakinya.

Nathan menggeleng pelan, "Nathan cape." balasnya lirih.

Zena tersenyum, menatap prihatin pada putranya yang harus selalu mengikuti apa perintah sang papah tanpa bisa membantah. "Mamah minta maaf." ungkapnya menahan sesak yang menjulur ke dada saat melihat Nathan yang seperti ini.

"Kaya apa ya, Nathan tuh sebenarnya siapa di keluarga kalian? Kenapa papah selalu kaya gitu ke Nathan?" gumamnya tak bisa lagi menahan tangis di hadapan sang mamah.

"Kamu itu anak mamah,"

Nathan mencebikkan bibirnya lucu, entah jika bersama mamah ia selalu menjadi sosok yang berbeda. "Kamu lagi marahan sama Elia yah?" tanya mamah, Nathan yang tadinya menutup mata jadi kembali menatap sang mamah.

Cowok itu mendelik, bingung dari mana mamah bisa tau. "Kata siapa?"

"Mamah tau, keliatan abisnya." katanya seraya terkekeh mengingat kembali kejadian kemarin saat gadis itu membela putranya di hadapan Kala juga sang suami. "Jangan suka marah sama Elia." lanjutnya. Nathan hanya diam tanpa bergeming.

"Mah, Nathan cape. Nathan cape diatur sama papah kaya gini." hancur sudah pertahanannya di hadapan sang mamah. "Nathan pengen bebas kaya orang lain juga. Tanpa harus ikutin peraturan yang papah kasih ke Nathan."

Mamah yang mendengar itu ikut menangis seraya mengusap puncak kepala Nathan. "Nathan pengen di sayang juga sama papah." 

Cowok itu menarik napasnya yang terasa semakin sesak saja. "Nathan nggak papa jagain Elia terus sampe mati, asal jangan desak Nathan kaya gini, sampe buat merhatin hidup Nathan aja nggak sempet." 

Tak sadar di belakang cowok itu ada sosok Evan juga Kala yang berdiri dengan ekspresi terpukul, Evan menatap sang putra dengan dada sesak dan mata berkaca-kaca. Tak tahan mendengar kalimat menyedihkan dari anak itu.

Evan lupa, putranya juga memiliki kehidupan yang harus dijalani. Ia juga pasti merasa lelah hanya saja Nathan tidak pernah memperlihatkan. 

"Nath," Papah memanggil dengan lirih. Malu sekali mengingat dia pernah memarahinya tanpa memikirkan perasaan putranya.

Nathan jadi melepaskan pelukan dari mamah, kemudian mendongak kaget menatap sang papah tapi detik berikutnya malah menunduk menghindari tatapan papah. Beranjak dari sana untuk segera pergi naik ke atas, tapi papah menahan bahunya.

"Maafin papah..." lirih pria itu sambil terisak. "Maaf, papah yang salah, papah yang jahat sama kamu."

Nathan memalingkan wajah dengan rahang yang mengeras, berusaha untuk tidak emosional. "Nathan mau ke kamar."

"Papah nggak seharusnya ngatur hidup kamu, nyuruh kamu untuk lakuin balas budi kaya gini."

"Papah selama ini egois, papah lupa kalo sekalipun anak papah cowok dia juga butuh diperhatiin, butuh di sayang kaya temen-temennya yang lain."

Nathan mengepalkan tangan, menunduk dengan mata berkaca-kaca. Membuat papah semakin sedih. "Pukul papah aja Nath, biar papah sadar.."

Nathan menggeleng, tak bisa menahan lagi untuk tidak semakin pecah dan terisak. Ia menjatuhkan kepalanya di bahu sang papah dengan lemas. Papah seketika langsung memeluk putranya dengan erat, ikut menangis juga tapi tanpa suara. Ayah yang berada tepat di samping papah juga diam menahan tangis dengan mata yang sudah memerah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 14, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Swastamita di Cakrawala ( On Going )Where stories live. Discover now