Aku tidak bisa melihat wajahnya karena dia menggunakan penutup mulut dan jubah bertudung. Tapi aku tahu jika dia pria. Seorang pria dewasa.

Pria itu tersentak ketika melihatku—ku pikir, dia kaget karena aku terbangun.

Dia buru-buru bangkit dan memasukkan jar salep ke dalam saku. Saat hendak pergi, aku segera menahannya.

"T-tunggu ..!"

Aku berseru dengan suara serak, suara khas orang baru bangun tidur.

"Paman, tunggu." Ujarku lagi.

Untungnya pria itu menurut. Dia berdiri, diam di samping tempat tidur, dan aku—yang sudah mengubah posisi menjadi duduk—tetap menggenggam pergelangan tangan kirinya.

"... Siapa? Paman siapa?"

Lengang sejenak. Pria itu tidak langsung menjawab.

"Bukan siapa-siapa," jawabnya asal. "Tidurlah kembali," timpalnya.

Aku menggeleng. "Aku sudah tidak mengantuk."

Tapi pria itu—ah, sepertinya lebih baik jika aku memanggilnya 'Paman' mulai sekarang, kan?

Tapi Paman mengacuhkanku. Paman melepas cekalan tanganku kemudian pergi dengan melompat dari jendela.

Aku diam termangu, menatap ambang jendela yang disinari cahaya bulan purnama.

Setelah beberapa waktu, aku menghela napas dan merotasikan bola mataku ke sembarang. Saat itu aku tidak sengaja melihat ke meja makan—tempat tinggalku hanya sepetak, jadi semuanya terkumpul jadi satu di ruangan yang sama.

Di atas meja makan ada sebuah kantung yang terbuka. Terlihat dari tempatku duduk jika kantung itu terisi penuh oleh roti.

Setelah Ibu pergi sehabis marah-marah, sebelum aku tidur, aku sudah memastikan jika aku sudah mengunci pintu. Aku juga sudah menutup jendela—aku tidak menguncinya karena memang tidak bisa dikunci.

Aku yakin jika hanya Paman tadi yang masuk ke rumah selepas Ibu pergi.

Aku merengut. "Jadi, selama ini, makanan-makanan itu bukan dari Ibu?"

***

Keesokan malamnya, aku menahan diri agar tetap terjaga. Aku sengaja menunggu kedatangan Paman—entah atas dasar apa, tapi aku sangat yakin jika Paman pasti akan datang lagi.

Dan benar saja. Orang yang kutunggu datang kembali.

Namun, ketika Paman tiba, ia yang baru menampakan diri di ambang jendela segera pergi lagi karena sadar jika aku sedang menunggunya.

Jika aku disuruh menebak, kupikir tujuan Paman datang memanglah untuk memberikan makanan untukku secara diam-diam setiap malam. Tapi, karena aku masih terjaga kali ini, tujuannya jadi tidak tercapai. Karena itu, Paman langsung pergi lagi.

Hal itu tidak mematahkan tekadku. Aku memutar otak dan mencoba sebuah trik pada malam berikutnya.

Berpura-pura tidur.

Dan, ya. Itu berhasil.

Ketika Paman mendekatiku yang berbaring dengan mata terpejam di atas ranjang, aku dengan sigap menangkap tangannya yang tengah mengusap lembut kepalaku.

Tentu saja Paman berupaya untuk kabur—lagi. Namun, aku tidak melepaskankannya hingga akhirnya Paman menyerah.

Sudah tepat satu minggu sejak pertama kali aku memergoki Paman yang menyusup ke tempat tidurku. Dan semenjak malam itu, aku selalu menunggu dan menyambut kedatangan Paman. Kami menghabiskan beberapa jam untuk berbincang ringan bersama setiap malamnya.

Oh iya, ketika Paman pertama kali melepas tudung dan penutup mulutnya, aku sampai terperangah. Paman ... tampan sekali!

"Lain kali, jika rotinya sudah berjamur, langsung dibuang saja, jangan dimakan lagi. Aku akan selalu datang dan memberikan roti baru untukmu setiap malam."

Hari ini aku sakit perut dan sedikit meriang. Paman bilang, aku keracunan makanan karena memakan roti pemberiannya yang sudah berjamur—kata Paman itu karena aku menyimpannya di tempat yang lembab jadi rotinya berjamur.

"Obatnya baru akan bekerja jika kau tidur. Jadi cepat berbaring dan tidurlah," ujar Paman lagi.

"Tapi, Paman ..." Aku mencicit sembari memegang ujung pakaiannya. "Jangan pergi ya? Setidaknya tunggu sampai aku benar-benar tidur dulu."

Paman berdehem dan mengangguk. "Iya."

Sejujurnya, sakit yang aku rasakan masih bisa aku tahan—aku pernah mengalami yang jauh lebih buruk daripada ini.

Tapi, anak yang baik adalah anak yang penurut. Anak yang baik tidaklah membangkang.

Karena itu, aku segera berbaring kembali di atas tempat tidur.

Namun, aku sama sekali tidak bisa tidur. Kelopak mataku enggan untuk terpejam. Alhasil, aku hanya diam sembari memandangi wajah Paman untuk beberapa waktu.

Aku yakin Paman tahu jika aku terus memandanginya—aku menatapnya terang-terangan. Tapi Paman tidak mengatakan apa pun. Paman hanya diam sembari terus mengusap lembut keningku.

"Paman."

"Hm?"

"Kenapa Paman baik sekali padaku?"

Atmosfer di antara kami kembali lengang. Paman yang sempat melirik ketika aku memanggilnya kini sengaja membuang pandangan.

"Paman," panggilku lagi.

"Apa?" sahutnya asal.

"Kenapa?" tanyaku sekali lagi. "Kenapa Paman baik padaku?"

"... Bukan apa-apa, hanya ingin saja."

.

.

~ To be continued ~

Published on 12-10-2023

Young Lady, Helene Morgan [END]Όπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα