21. Marahnya Elia

Start from the beginning
                                    

Mamah jadi meringis kasihan, langsung menarik Elia ke dalam pelukannya. "Dah dah, udahan."

"Papah juga sama aja! Nathan tuh anak papah kenapa harus selalu ikut-in apa peraturan papah. Papah yang hutang budi sama ayah kenapa harus Nathan yang balas dengan jaga Elia! Nathan juga punya kehidupannya sendiri, dia hidup bukan buat jaga-in Elia selamanya. Nathan bebas cari kebahagiaan dia seharusnya."

"Bilang-in sama ayah Mah..." Elia menangis keras. "Elia pengen bebas kaya orang normal, kalopun Elia ditakdir-in meninggal, mau kaya apapun ayah jaga-in Elia itu bakal percuma. El bakal tetep meninggal juga." 

"Hush jangan ngomong gitu,"

Ayah dan papah tertegun dengan kalimat itu. Sesak rasa sesak langsung menjalar ke dadanya karena merasa tidak berguna menjadi seorang ayah. Hal yang menyadarkan karena salah bersikap kepada Nathan.

"Satu lagi,"

"Jangan sampe ayah laku-in itu juga ke Aska, Elia bisa malu banget nantinya di depan dia. Ayah tau? Dari kecil El selalu suka Aska, lebih dari seorang sahabat." ungkapnya membuat mereka terkejut bukan main. Ayah langsung menatap kepala menatap putrinya, kaget saat mengetahui fakta ternyata selama delapan tahun terakhir Elia punya perasaan sebesar itu pada Aska.

"Kaget kan? Ayah tuh cuma sibuk jagain Elia biar baik-baik aja tapi nggak pernah tau El sukanya apa!" 

"El,"

"Buat papah, please nggak usah ganggu Nathan lagi mulai sekarang, papah tau anak papah kemarin hampir aja ilang kesempatan buat ikut turnamen yang dia tunggu dari tahun kemarin tau nggak?."

"Kalian tuh cuma peduli apa yang menurut kalian bener! Tanpa tahu apa yang harus selalu kita korban-in buat terlihat baik di depan kalian."

Elia menepis lengan mamah, lalu berlari kecil masuk ke kamar. Menutup pintu dengan kasar sampai menimbulkan suara yang kencang.









🌅🌅🌅







Kala masih duduk di sofa, padahal hari sudah sangat malam. Ia menunduk sambil melihat foto Sarah yang sudah meninggal beberapa tahun lalu. Dengan pelan mulai melangkah masuk ke dalam kamar untuk menyimpan kembali foto itu. 

Lalu keluar lagi dan naik ke atas menuju kamar Raga. Mengusap pelan puncak kepala anak itu membuat Raga terusik. 

"Ayah..."

"Ssst, tidur lagi tidur," katanya tetap mengusap pelan rambut Raga.

Setelah memastikan Raga benar-benar tidur akhirnya Kala bernapas lega sambil keluar dari kamar, menatap pintu kamar di samping dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Hatinya hendak membuka lalu masuk dan memeluk gadis di dalam sana, tapi pikirannya menolak melakukan itu karena tahu kalau Elia sudah pasti masih marah padanya.

Tapi akhirnya tetap membuka pintu itu, tak sengaja melihat album di meja belajar Elia. Foto istri pertamanya Zara bersama Elia, Kala tersenyum kecil sambil meraih album itu dengan mata berkaca-kaca.

"Kenapa kamu harus tinggal-in kita Za? Aku masih nggak bisa jadi ayah yang baik buat Elia." ucap Kala lirih. Mengusap air matanya agar tidak mengalir. 

Pria berumur itu menarik kursi belajar milik Elia, terdiam di sana sebentar sembari memandang album foto Zara dan Elia. Tidak bisa dipungkiri kalo wanita dalam foto itu benar-benar baik sekalipun saat itu meninggalkan Elia bersama Kala. Sampai saat ini ia masih belum tahu alasan wanita itu.

Zara terlalu hebat menyembunyikan semuanya sendirian.



 "Berat bagi ayah agar bisa jadi sempurna El, ngurus kamu sebagai ayah juga seorang ibu." lirihnya sembari berjalan ke arah Elia yang tertidur lelap. "Maafin ayah, ayah terlalu takut kehilangan kamu." sambungnya. Mengecup pelan puncak kepala Elia sebelum akhirnya bangkit lalu berbalik pergi keluar dari kamar.









🌅🌅🌅



Baru saja menutup pintu. Ponsel di saku berbunyi, lengan Kala masuk ke dalam merogoh benda pipih berwarna silver grey. 

"Iya, halo Far?" sapa Kala pada orang si seberang sana.

"Obat yang kuning udah bisa di ambil Kal besok." 

"Gue besok ke sana jam 7 deh, ya." Ayah membuang napasnya pelan.

"Kondisi Elia gimana, Far?"

"Udah jauh lebih baik sih, lo bisa agak tenang. Tapi tetep jangan dibiar-in sendirian kalo bisa"

Kala mengangguk lalu menghela napas berat, baru saja ia mendapat teguran perihal ini dari Elia.

"Kal,  lo bisa nggak usah terlalu over protektif ke dia. Asal dia nggak terlalu cape itu aman, Elia juga nggak bakal terbebani jadinya."

Kala berdehem, menatap pintu bercat putih dengan nama Elia di sana. Lalu berjalan turun ke arah tangga, masih berbicara dengan dokter Farhan di telfon.

















Swastamita di Cakrawala ( On Going )Where stories live. Discover now