18

55 11 0
                                    

⚠️Bismillah

Suasana pasar seperti biasanya tidak ada yang terlihat istimewa, hanya saja lebih ramai dari sebelumnya. Di tengah keramaian pasar, hanya seorang Biru yang mampu mengalihkan pandangan Ratna dari keramaian padahal di pasar tidak hanya Biru, entah kenapa pandangan Ratna selalu tertuju padanya.

" Ratna!" Teriak Biru dari arah sebrang toko.

Ratna hanya terdiam mematung, ia tak berani untuk menghampiri Biru atau bercakap dengannya, sebab jika ketahuan pak Dierja Ratna akan dimarahi habis-habisan. Namun Biru tetaplah Biru, ia tidak bisa melepaskan Ratna begitu saja, walaupun ayahnya sangat melarang keras untuk menemui Ratna tapi Biru tidak terlalu peduli tentang itu, lagipula dia sudah banyak menuruti permintaan ayahnya.

" Ratna, aku mau ngomong sesuatu sama kamu..."

" Aku sudah tahu Biru...."

Degg...

Bagikan disambar petir Biru tak mampu lagi berkata-kata, hatinya seolah hancur menahan sakit ia hanya mampu mematung, sembari menatap Ratna yang perlahan menjauh darinya. Biru tak memiliki alasan untuk menghalangi langkah Ratna, rasanya sakit jika harus berakhir seperti ini.

Tidak ada kah cara yang lebih baik untuk menghadapi perpisahan, apakah ini caranya untuk membahagiakan 2 jiwa yang tak bisa bersatu, bahagia meski tidak bisa bersama.

Sudah berulang kali Biru menyakinkan ayahnya tentang Ratna, namun hanya respon kebencian yang selalu ia dapat, sekeras itu hati pak Dierja untuk menerima Ratna, hanya karena status sosial.

                            ....

Sementara Ratna ia berusaha sekuat mungkin menyeka air matanya untuk tidak jatuh, sebab ia tak ingin terlihat lemah depan siapapun, termasuk depan adik-adiknya terlebih hanya karena masalahnya dengan Biru.

" Teh, kok ngelamun sih, katanya mau bikin bumbu!"

Ayu berusaha menyadarkan Ratna dari lamunannya, sudah berkali-kali Ayu tegur namun Ratna masih saja kalut dalam lamunannya, sampai ia harus menepuk pelan pundak Ratna.

" Eh iya Yu, nanti ya kalo ayamnya dah kelar dibersihin... baru kita bikin bumbu, sekarang  Teteh mau ke kamar bentar...."
Ucap Ratna datar, lalu pergi meninggalkan Ayu begitu saja.

Berbeda Aya, Genta dan Deden, mereka sedang disibukan oleh  potongan ayam yang belum selesai dibersihkan.

" Den, yang bener apa, bersihin nyaa!" Sindir Aya dengan lirikan mata tajam miliknya.

Deden hanya bisa menggaruk pipinya yang tak terasa gatal, sembari memajukan bibirnya beberapa senti, dan memutar bola mata malas, entahlah ia begitu malas jika harus mendengar ocehan Aya tiap hari, baginya Aya lah kakak yang paling bawel.

"Ckk.... Iya, iya, bawel banget sih!"

" Kalian beneran mau cari Bapak?"

Celetukan Genta berhasil mencairkan suasana, semua terkejut dengan itu.

"Ya, serius, aku mau cari bapak!" Gumam Deden

"Aku masih belum paham, dengan alasan Bapak yang menolak pulang kerumah ini... Bapak egois!"

"Bapak jahat!"

" Bapak egois!"

Kali ini emosi Genta sudah tak terkendali, mungkin terlalu banyak rasa kecewa yang ia pendam sendiri, terutama soal bapak, jujur Genta kecewa dengan perbuatan bapak selama ini, bapak sepertinya sudah merasa tak punya lagi tanggung jawab atas anak-anaknya apapun alasannya bapak tetap salah dimata Genta, rasanya hilang semua kasih sayang bapak, sampai untuk kembali kerumah saja sulit ia lakukan.

" Gak, aku sangat yakin bapak pasti punya alasan kuat buat ngelakuin ini!" Tegas Jejen.

Dari ambang pintu dapur, dan tanpa mengucap salam terlebih dahulu, Jejen segera menangkal ucapan Genta, ia betul-betul tak suka jika Genta mengatakan itu, bagi Jejen bapak bukanlah sosok yang jahat, ia selalu ingat pesan emak untuk tidak boleh benci sama bapak.

" Jangan pernah benci sama bapak, bagaimanapun sikapnya!" Tegas Jejen

" Bapak tuh sayang sama kita, mungkin caranya saja yang berbeda...."

" Hah, sayang? mana ada sayang kayak gitu, ninggalin anak-anaknya dan ngerasa gak punya tanggung jawab lagi buat kita... Sadar Jen, bapak itu berhak dibenci!" Tegas Genta

Jejen tak kuasa menahan emosinya, amarahnya semakin membara, karena celetukan Gent, yang sudah melampaui batas, tanpa aba-aba Jejen segera menampar kuat Genta, yang sedang memegang bahunya.

plakk...

Satu tamparan kuat berhasil mendarat sempurna di pipi Genta, membuat pria itu merintih kesakitan sembari memegangi pipinya jujur Genta masih belum paham, mengapa Jejen se-yakin itu tentang bapak.

" Jen, udah cukup!" Tegas Deden, sembari menepis tangan Jejen yang ingin menampar Genta.

" Sabar Jen!"

Tanpa aba-aba Deden segera memeluk erat Jejen yang tengah kalut dalam amarahnya. Hanya
Deden yang berhasil menghentikan pertengkaran sekaligus meredakan amarah adiknya.

                           .....

Lembayung senja telah berada pada puncak akhir. Langit sudah nampak berwarna merah berpadu dengan jingga menandakan bahwa senja akan segera padam. Sudah dua jam lebih Jejen hanya termenung sembari menghadap kearah pantai, tempat dimana matahari akan tenggelam. Tak hanya Jejen seorang, begitupun dengan Echa, kucing itu ikut bersama Jejen, tapi anehnya Echa hanya duduk diam tanpa adanya kerusuhan, Echa sangat tenang saat ia melihat keindahan pantai, seolah tahu apa yang Jejen rasakan.

Pantai dan senja, adalah favorit Jejen saat ia sedih, senang, rindu, bahkan saat semuanya telah bercampur, baginya pantai dan langit senja, adalah tempat dan waktu yang sangat mengesankan.

" Semua berubah setelah Emak pergi...."

" Kini gak ada lagi rumah yang hangat, atau pelukan yang tulus, kalo ada apa-apa pasti dipendam sendiri, gak ada tempat curhat, Jejen capek, mak.... sakit" Lirih Jejen dengan mata berkaca-kaca

" Terlalu sakit ya, buat Bapak kembali kerumah..."

Rasanya ia ingin berteriak sekaligus menangis sekuat-kuatnya saat itu juga, berapa lama lagi Jejen harus memendam dan bergelut pada keadaan ini, ia rindu kebersamaan, Jejen butuh hadirnya sosok Bapak, namun keberadaannya saja ia tidak tahu.

Gelombang laut seolah menari gemulai, desiran ombak yang begitu tenang dan juga angin sepoi-sepoi yang berhembus pelan, nampak matahari akan segera tenggelam.

Di tengah kesedihannya, pandangan Jejen tertuju pada seseorang yang pernah menjadi teman masa kecilnya, siapa lagi jika bukan Rindu, gadis cantik yang memiliki senyuman manis dan pengagum bunga matahari, sama halnya seperti Jejen. Bagi Jejen terlalu banyak untuk mendeskripsikan semua tentang Rindu, Jejen begitu mengagumi Rindu, sejak dulu, sampai saat ini, mungkin sekarang lebih dari mengangumi.

Flashback on 1998

" Hahaha.... Mana mungkin Jejen bisa jadi tentara dasar miskin! "

" Dasar lemah, mana bisa jadi tentara!"

" Nyadar diri deh, Jen!"

" UDAH CUKUP, MAU KALIAN APASIH, ITU CITA-CITA DIA, BEBAS DONG, KALIAN JAHAT!" Teriak Rindu

Bughh...

Satu pukulan berhasil mendarat sempurna di perut Jejen, membuat meringis kesakitan.

" Nyari perhatian banget sih, Jen gak dapet perhatian ya!"

Namun, saat pukulan kedua akan mendarat, tiba-tiba Rindu menepis kasar tangan Saga, lalu mendorongnya kuat hingga Saga terjatuh, terbentur lantai.

7 Anak Hebat [TERBIT]✔️Where stories live. Discover now