35 ● Langkah Baru

15 3 0
                                    

"Jadi, ini semua perbuatanmu, Gwen? Aku enggak nyangka, pikiranmu sangat pendek sekali. Kamu keterlaluan, Gwen!"

Suara bariton Dave terasa begitu kuat menekan, memecahkan kebisuan yang menjeda waktu, membuat Gwen benar-benar ketakutan. Wajah Dave tampak keruh dengan tatapan tajam menohok jantung. Lelaki yang diam-diam Gwen kagumi selama lima tahun ini terlihat menahan amarah yang sangat besar. Gwen belum pernah melihat Dave seperti itu.

Wajah gadis itu tampak pucat. Dia hanya bisa menunduk, tangannya saling menggenggam erat. Gwen menyadari telah melakukan kesalahan sangat besar, yang akhirnya melemparkan dirinya ke kubangan hitam yang bernama  kehancuran. Ya, Gwen telah menciptakan neraka kebencian untuk dirinya dan juga Dave, Rangga, dan Vlo.

Rangga sudah menghukumnya. Lelaki itu sudah memuntahkan amarah dua minggu lalu dan menyita ponselnya. Rangga sangat kuat dan tegas. Dia tak terbujuk saat Gwen berulang kali meminta  gadgetnya padahal gadis itu sangat membutuhkan untuk kelancaran pekerjaan dan juga M-banking-nya. Namun, Rangga tetap pada pendirian dan menekan Gwen agar gadis itu menjelaskan semuanya serta meminta maaf kepada Dave dan Vlo.

Gwen tak bisa menghindar. Rangga mengancam akan membocorkan semua yang terjadi jika dia tidak melakukan klarifikasi kepada Dave dan Vlo. Gwen tak ingin keluarga, terutama orang tua, mengetahui kelakuan putrinya yang memalukan. Bapak dan ibunya sudah kadung sayang dan menaruh banyak harapan pada lelaki itu. Karena alasan itu, Gwen melangkahkan kaki ke Kafe Move On meskipun hatinya belum siap dan dia merasa terpasang mahkota malu di kepalanya.

"Maafkan aku, Mas Dave. Aku salah besar. Seharusnya aku enggak mencampuri urusan Mas Dave dan Kak Vlo." Gwen terisak, wajahnya tampak kalut. Rambutnya pun tampak kusut.

"Aku enggak suka dengan apa yang udah kamu lakuin, Gwen! Selama ini, kamu udah kuanggap adik perempuan yang baik dan jujur. Nyatanya, kamu menusuk dari belakang. Kenapa kamu bawa lagi Sabina ke kehidupanku? Kamu tahu kenapa aku buat kafe dengan nama Move On? Kamu benar-benar membuatku meledak," bentak Dave dengan gusar.

Lelaki berkemeja biru langit itu menggebrak meja tamu dengan keras. Gwen tersentak kaget.

Dave lantas menyugar rambutnya. Lelaki yang selalu memiliki perhitungan matang itu teringat akan perjuangannya melepaskan bayang-bayang Sabina yang sempat mengakar kuat dalam kehidupan masa lalu. Kafe Move On merupakan citra nyata dirinya yang telah mampu bangkit dari keterpurukan cinta. Dave tak ingin melihat lagi ke belakang, dia ingin move on, pindah, hijrah, dan memulai kisah baru.

"Iya, aku salah banget, Mas. Aku yang salah. Mas mau memaafkan aku?" Gadis itu memohon.

Dave memalingkan wajahnya. Dia tak ingin memandang gadis itu. "Pergilah! Minta maaf kepada Vlo. Ingat, kamu tak perlu mengatakan apa pun tentang aku padanya!" Dave mengibaskan tangannya.

Lelaki itu beranjak ke meja kerjanya. Dia kembali menenggelamkan diri pada kesibukannya sebelum gadis itu datang. Dia tak peduli lagi pada Gwen yang tertunduk sambil mengusap sisa air mata. Hingga akhirnya, dengan sisa-sisa keberanian, Gwen pamit, lalu keluar dari ruangan Dave dengan langkah gontai. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis berambut pendek itu.

Dave hanya melirik pacar adiknya tanpa berekspresi apa pun. Wajah itu tampak dingin. Embusan napas kasar keluar dari bibir seiring hempasan tubuhnya ke sandaran kursi kerja. Mata Dave memejam. Dia ingin membuang ganjalan yang mengimpit. Jiwanya terasa terbang melayang.

Bergeraklah, Dave! Cepat, sebelum terlambat!

Bisikan itu terdengar merdu, menembus gendang telinga yang memompa jiwa, serupa sulur-sulur yang bergerak cepat dan membuka alam pikiran bawah sadarnya. Bayangan wajah Vlo dan Sabina datang silih berganti. Lelaki itu gelisah. Cinta masa lalu dan masa depan berebut menguasai pikirannya, saling tarik menarik, merobek pertahanan kasih. Kehadiran Sabina telah mengembalikan secuil kenangan yang telah lama dilupakannya.

Dave tersentak. Dia memandang jam dinding di atas pintu. Dua jam sudah dia merenungi segalanya. Lelaki itu bangkit dan dia sudah memutuskan sesuatu. Dengan berdebar-debar, tangannya kemudian mengambil ponsel dan mengirimkan satu pesan kepada seseorang. Setelah itu, Dave menelepon dua nomor berbeda yang tertera di kartu nama yang disimpannya di balik kaca meja.

Dave mengangguk, selarik senyum tipis tergambar di wajahnya saat dua nomor itu mengikuti intruksinya dengan cepat. Beberapa saat kemudian terdengar notifikasi pesan masuk. Senyum Dave semakin mengembang. Dia merasa bahagia, semesta menaungi keberuntungannya.

Tunggu aku, Sayang!

Lelaki itu mengusap wajah. Titik-titik  keringat membasahi keningnya. Dengan sedikit panik, Dave menyambar jaket kulit limited edition  yang dibelinya secara pre-order dari satu brand ternama dunia, lalu bergegas keluar ruangan. Langkah kaki membawanya ke parkiran khusus, tempat mobilnya berada. Dave kemudiam melajukan kendaraan itu dengan kecepatan tinggi.

Mobil mahal keluaran tahun lalu membelah jalanan sore Jakarta yang cukup padat. Setelah mengambil buket bunga di florist yang tadi dihubunginya, Dave segera meluncur ke satu tempat lagi. Kali ini dia menyambangi kawasan pertokoan khusus perhiasan. Ya, Dave mengambil pesanan cincin di salah satu toko emas kenalan baiknya milik lelaki keturunan Timur Tengah.

"Dave, semoga kamu berhasil melamar perempuan tercintamu, Bro!" teriak lelaki Arab itu saat Dave bergegas keluar toko dan sebelumnya dia mengatakan tujuan membeli benda berharga itu.

Dave mengacungkan tangannya. Dia sebenarnya ingin bercerita banyak dan berniat memesan satu set perhiasan jika menikah nanti. Namun, waktu semakin bergulir. Sesekali Dave melirik arloji di pergelangan tangannya. Lelaki itu mengusap kepala, wajahnya menegang.

"Allah, bantu aku! Semoga tidak telat," gumamnya lirih.

Dave segera mencari jalan alternatif lain. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan. Pesan yang diterimanya memberi tahu  batasan waktu. Dia harus mengejarnya meskipun harus membawa kendaraan dengan kecepatan penuh.

Perjalanan cukup panjang. Setengah jam telah berlalu. "Masih ada waktu lima belas menit lagi," pikirnya. Dia merasa lega setelah melewati satu ruas jalan utama yang biasanya sering macet. Hingga akhirnya, lelaki itu menemukan tempat yang menjadi tujuannya, tepat lima menit sebelum waktunya habis.

"Pak, seminar kesehatan di gedung mana?" tanya Dave kepada lelaki tegap berseragam di depan gerbang.

"Oh, seminar Kesehatan Ibu dan Anak ya?  Mas dari sini lurus, terus belok kiri, ketemu taman kecil, belok kanan, nanti sekitar 100 meter ada gedung bundar tiga tingkat, di situ lokasinya," jawabnya ramah.

"Makasih, Pak."

"Mau jemput istrinya ya?" tanya lelaki itu. Dave hanya mengangguk seraya tersenyum.

"Iya, banyak dokter dan perawat yang hadir. Mungkin sebentar lagi selesai. Eh, tuh sebagian sudah ada yang keluar," ujar lelaki itu lagi seraya menatap jalan besar, beberapa mobil dari arah berlawanan berjalan perlahan menuju gerbang.

Dave kemudian menjalankan kembali mobilnya, sebelum itu dia mengucapkan terima kasih yang kedua. Setelah mengingat intruksi lelaki penjaga gerbang tadi, Dave akhirnya menemukan gedung yang dimaksud. Hatinya langsung mencelos, jantung lelaki itu berdegup kencang saat pandangannya menangkap pemandangan indah, seseorang yang dirindukannya tengah berjalan dengan wajah tertunduk, tas cokelat besar dan blazer tersampir di pundak.

Dave terdiam sesaat di dalam mobil. Dia menunggu waktu yang tepat untuk keluar. Dave yakin, orang itu, perempuan yang dirindukannya, akan berjalan ke parkiran, menuju mobil. Itu artinya, dia akan melewati mobil Dave.

Satu, dua, tiga detik, aha, benar dugaan Dave. Tubuh perempuan itu tepat di depan mobilnya. Dia tak melihat Dave karena kaca mobil lelaki itu gelap. Secepat kilat, lelaki itu meraih buket bunga dan memasukkan kotak cincin ke jaket. Dengan hati berdebar, Dave keluar dari pintu mobil dan berjalan memutar ke belakang, lalu menghadang orang itu.

Perempuan itu berteriak kecil dan merasa marah karena langkahnya terganggu. Namun, sejurus kemudian, dia sangat kaget saat tahu siapa yang berdiri di depannya. Mata indah itu membola.

Dengan tatapan sendu dan penuh kerinduan, Dave menyapa. "Apa kabar, Sayang?" Tangan Dave menyembunyikan  buket bunga di belakang punggungnya.

Perempuan itu terpana. Dia tak bisa berkata-kata. Dia hanya bisa menutup bibir dengan jemari-jemari lentiknya saat Dave menyerahkan buket bunga diiringi senyum yang ditunggunya selama dua minggu ini.

VLO & DAVE  (T A M A T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang