21 ● Nasihat Mama

16 1 0
                                    

"Jangan bilang yang anterin kamu tadi itu Dave, Vlo," todong Sarah seraya membuka tirai jendela kamar Vlo di lantai dua.

"Iya, itu dia," jawab Vlo sambil menyimpan tas di meja, mengambil ponsel, lalu meletakkannya di meja.

Perempuan itu kemudian melongok ke arah jalanan kompleks depan rumah yang tampak sepi. Vlo mengikuti tindakan Sarah meskipun dia sendiri tidak mengerti.

"Mama ngapain lihat ke depan jalan?" tanya gadis itu seraya membuka seragam putih-putihnya.

"Siapa tau Dave belum pergi dan dia lagi mandang ke arah sini di depan mobilnya. Tangannya teracung sambil bawa bunga. Kayak yang di film-film gitu, Vlo." Pandangan Sarah belum beralih.

Sontak gadis itu menoleh ke arah mamanya. "Mama, lebay amat! Begini, nih,  korban drakoran sama sinetron. Segala hal didramatisir. Lagian juga, mana ada orang kaku ngelakuin hal-hal gitu?"

"Emang Dave kaku kayak sapu ijuk? Mama intip dari jendela, dia ganteng dan ramah, kok. Emang dia enggak mau main ke rumah, kenalan sama camer yang cantik ini?" Mata Sarah berkedip-kedip.

"Mama kepo, ih! Ngapain intip-intip?"

"Yeh, mama punya mata, Vlo! Tadi mama penasaran, siapa yang parkir depan rumah, eh, enggak taunya kamu yang keluar dari mobil mahal itu. Sempat lihat wajah Dave juga, sih."

"Tadi itu, Dave mau turun, mau kenalan sama Mama, tapi aku larang. Enggak usah, nanti malahan lama lagi, yang ada nanti kalian kompakan. Mama 'kan gitu, kalau udah sreg sama cowok yang datang, langsung jadi agen iklan, suka promosi. Jangan bilangin sama Oma ya, kalau Dave anterin aku. Bisa-bisa kalian bergosip lagi berdua. Nanti Oma makin gede hati udah ngerasa paling penting."

"Ih, kamu kok, sensi gitu, Vlo? Kami 'kan tim penyaring dan seleksi calon mantu. Kalau eggak gitu, mana kita tahu track record dan bibit, bebet, bobotnya."

"Pokoknya, urusan Dave, enggak usah dulu. Nanti kalau aku bilang oke, baru Mama sama Oma bergerak." Vlo mendekati Sarah, kemudian berbisik di telinga perempuan itu. "Yang satu ini beda dari cowok-cowok yang pernah deket sama aku, dia ... Sigma Male."

Mata Sarah membola dengan mulut terbuka. "Wow! ... eh, apa itu?" Sarah penasaran.

"Dari yang aku baca, Sigma Male itu tipe lelaki yang sangat unik. Dia mandiri dan sukses, tapi punya sifat kontras. Biasanya yang sukses itu "kan senang berkumpul sama orang banyak, tapi ini enggak gitu. Dave enggak agresif dan introvert. Dia itu kalau udah kerja, langsung masuk ke dunianya  dan nyaman dengan dirinya sendiri. Dia juga bukan tipe yang nampakin dirinya sebagai leader, bos. Dave juga pendengar yang baik dan cerdas secara emosional. Satu hal lagi, Dave ... misterius."

"Nah, itu! Mama suka sama orang yang gitu. Aduh, Vlo, kenapa enggak dia aja, sih?"

"Mama, aku tuh bukan anak kecil yang bisa diatur karena Mama suka sama dia. Terlalu banyak perbedaan di antara kami. Usianya aja jauh di atas aku. Gimana aku sama dia bisa satu pemikiran dalam menjalani hidup?"

"Vlo, sini, Nak!" Tangan Sarah meraih tangan putrinya, lalu mengajaknya duduk di atas ranjang. "Kamu masih percaya jika jodoh itu adalah takdir yang akan mencarimu sampai ketemu? Nah, mungkin saja, kamu jodohnya Dave di saat lelaki itu sudah matang dalam segala hal meskipun usia di antara kalian terbentang jauh. Kita enggak bisa ngehindari ketentuan Allah walaupun lari ke mana aja. Allah tahu apa yang kamu butuhin, bukan apa yang kamu mau."

"Entahlah, Ma. Aku bingung. Kayaknya aku masuk ke dunia baru yang harus dipelajari dulu," kata Vlo seraya merebahkan tubuhnya ke pembaringan.

"Lho, katanya pengin segera nikah? Udah ada yang deketin, malahan bingung. Ya, udahlah, renungin semuanya. Mulailah berpikir dewasa tentang pernikahan, kebutuhan jiwamu dan baik buruknya. Oh ya, kemaren Oma telpon, katanya ketemuan sama Tante Aina. Ibunya Dave bilang, kamu cantik! Kamu jadi orang yang dicari sama keluarganya."

"Gawat! Gimana konsepnya sampe jadi bahan gibahan gitu? Au ah," kata Vlo sambil tengkurap, kepalanya menyelusup ke bawah bantal.

Sarah tertawa, lalu memukul sayang bokong putrinya. Setelah itu, Sarah keluar dari kamar karena mendengar panggilan Karina yang baru saja pulang bimbingan belajar.

****

Dave menatap langit malam dari balkon kamarnya. Matanya berpendar menyiratkan pancaran hati yang tengah bahagia. Lompatan-lompatan kejadian beberapa waktu yang telah dilewati membawanya kepada satu keyakinan, Dave menyukai Vlo.

Dua bulan lalu, dia hampir saja menolak permintaan ibunya untuk berkenalan dengan gadis itu. Dia tidak ingin membuka hatinya kepada siapa pun setelah kejadian yang membuatnya tak percaya lagi tentang hubungan dan cinta.  Namun, ketegasan Aina mampu membawa Dave pada situasi yang membuat pikirannya berubah.

Dave kemudian mengambil ponselnya. Dia memilih salah satu kontak yang tersimpan dan melakukan panggilan.  Dalam keheningan malam, lelaki itu ingin bercerita kepada seseorang yang paling mengerti dirinya. Tak lama kemudian, terdengar jawaban dari seberang dengan suara parau. Dave melirik jam dinding, sudah pukul 12 malam.

"Nan, aku ingin menikah. Aku juga udah nemuin perempuan yang pas. Menurutmu, apa yang harus aku lakukan agar dia mau menerima lamaranku?"

"Masyaallah, Mas Dave. Benarkah? Aku senang dengernya. Perempuan mana yang akhirnya bisa mencairkan kebekuan jiwamu? Dia pasti istimewa 'kan?"

Mata Dave berkilat, bibirnya menyunggingkan senyuman. "Istimewa banget, Nan. Dia usianya jauh di bawahku. Percaya enggak? Kami beda sepuluh tahun. Bagiku itu enggak masalah. Sumpah, Nan, aku jatuh cinta lagi. Dan kali ini aku enggak mau kehilangan dia."

Terdengar teriakan bernada heran dari seberang. Dia sepertinya antusias sekali saat Dave menceritakan awal pertemuan dengan Vlo. Berbagai pertanyaan mengalir dan Dave benar-benar bersemangat menjawabnya. Kamar yang temaram seolah menjadi saksi bagaimana hati Dave penuh dengan harapan indah.

"Mas Dave, kamu yakin dia jodohmu?"

"Aku yakin. Aku yakin, Nan. Kalaupun ada banyak hambatan besar saat aku ingin menghalalkannya, aku siap berjuang, Nan. Aku ingin dia jadi milikku seeutuhnya."

"Mas Dave, aku enggak pernah denger lagi keinginanmu buat nikah setelah lima tahun berlalu. Terus terang, aku khawatir, aku takut kamu enggak percaya lagi dengan pernikahan. Tapi, setelah dengerin sekarang, aku senang banget, Mas. Senang lihat kamu bahagia lagi."

"Doakan aku, Nan. Doakan bisa kembali mengecap kebahagiaan bersama dengan perempuan yang kucintai ini. Aku enggak muluk-muluk, jika gadis ini jadi milikku, kita berangkat umrah, Nan. Bareng keluarga juga biar hubungan kita makin erat. Sumpah, Nan. Aku sayang kamu dan ingin semuanya baik-baik aja. Doakan aku, Nan."

"Mas Dave, aku enggak bisa ngomong apa-apa lagi. Harapanmu sama denganku, begitu juga dengan Mama. Beliau pasti senang denger hal ini. Mas, aku pasti doain kamu. Suatu saat, kalau pernikahan ini jadi, aku pasti datang ke Jakarta bersama Mama. Aku janji, Mas. Aku ingin bertemu denganmu lagi."

Terdengar isak tangis yang tertahan. Dave memegang dadanya yang tiba-tiba sakit saat mendengarnya.

Sesaat waktu berjalan, mereka bertangisan. Perpisahan yang tak bisa terelakan karena satu hal. Keduanya saling menyadari ada rambu-rambu yang tak bisa mereka kendalikan meskipun hubungan di antara mereka kental adanya. Ada ikatan kuat atas nama Tuhan di antara keduanya.

"Nan, makasih, ya. Aku tunggu kalian di Jakarta. Aku pastikan semuanya baik-baik saja dan semua bisa menerima kalian. Selamat malam, Nan. Jangan lupa doain aku."

"Siap, Mas. Aku akan berdoa untuk kalian. Selamat berjuang juga, Mas Dave."

Lelaki itu kemudian menatap layar ponselnya yang gelap. Percakapannya dengan seseorang yang teramat istimewa membuatnya semakin kuat untuk mendapatkan Vlo. Dave kemudian merebahkan tubuhnya di pembaringan. Matanya memejam, menikmati getaran hati yang menyiratkan kerinduan. Di luar, hujan gerimis turun.

VLO & DAVE  (T A M A T)Where stories live. Discover now