22 ● Cinta itu Telah Mengetuk

11 2 2
                                    

"Mas Dave, pemasok sayuran dari Ciwidey udah datang. Beliau ada di depan."

Seorang lelaki muda berpakaian seragam, atasan kemeja hitam bertulisan Move On di bagian punggung dipadu celana jeans, muncul di depan pintu ruangan saat Dave memeriksa berkas-berkas sebuah perusahaan yang hampir bangkrut. Lelaki itu tampaknya sedang merancang strategi baru untuk menghadapi persaingan bisnis.

"Dika, suruh bapak itu tunggu di meja nomor satu aja. Sekalian nanti tolong buatin minuman," pinta Dave seraya membuka laptopnya.

"Baik, Mas. Mas mau dibikinin kopi?"

"Boleh, tapi yang  moccachino aja, Dika, jangan yang biasa," jawab Dave, matanya tetap mengarah ke layar di depannya.

"Tumben, Mas. Biasanya paling suka kopi hitam."

Dave melirik, sejurus kemudian dia terkekeh  seraya mengusap kepalanya. "Lagi suka moccachino aja."

"Siap, Mas. Saya panggil dulu bapaknya," jawab Dika.

Sepeninggal Dika, Dave tertawa sendiri. Lelaki itu baru menyadari jika pola minumnya kini berubah. Wajar jika Dika heran. Semua orang di kafe Move On sangat tahu selera lelaki itu, segelas kopi hitam panas dengan sedikit gula setiap pagi dengan roti bakar isi ikan tuna. Namun, setelah mengenal Vlo, Dave mulai mengikuti gadis itu, memilih moccachino sebagai minuman selingan.

Setelah memastikan konsep rancangannya tersimpan di Gogle Drive, lelaki itu beranjak keluar. Namun, langkahnya terjeda saat ponsel di saku celana berdering. Lelaki itu tersenyum ketika tahu siapa yang meneleponnya. Wajahnya terlihat semringah.

"Dave, aku sekarang lagi di Cibubur. Oma minta aku nginep di rumahnya. Hmm ... kamu ada di kafe?"

"Halo, Vlo. Wah, udah beres magangnya. Kamu diminta Oma atau emang yang datang sendiri? Kok, baru ngabarin? Kangen ya?"

Hampir saja Dave mengatakan jika dirinya yang merindukan gadis itu karena sudah tiga minggu tak bertemu. Vlo praktik klinik komunitas di daerah penduduk di kawasan Curug.

"Kangen?" Terdengar tawa renyah yang membuat jantung Dave berdebar. "Oma sakit, Dave. Jadi aku diminta Papa jengukin sekalian jaga karena Oma harus bedrest."

"Vlo, aku ke rumah Oma ya?" Tiba-tiba satu ide terlintas di kepala lelaki itu.

"Kamu mau ke sini, Dave? Kapan?"

"Kamu bisa tunggu setengah jam? Aku ada tamu dulu dari Ciwidey, bentar, kok. Abis itu meluncur."

"Baiklah, Dave. Kutunggu ya! Bete juga sendirian, Oma lagi tidur sekarang."

"Oke, siap! Mau dibawaain apa? Moccachino dingin kayak biasa?"

"Dave, kamu sekarang tau banget kesukaanku, deh." Terdengar derai tawa kembali dari seberang.

"Tentu, Vlo. Sekarang aku harus tahu apa kesukaan dan kebiasaanmu. Jadi, entar terbiasa."

"Rajin amat, Dave."

"Karena aku cinta kamu, Vlo. Teramat cinta."

Kalimat itu tiba-tiba meluncur dari bibir lelaki itu, tak bisa dibendung, seperti aliran sungai yang jebol tanggulnya, meluncur membawa banyak hal yang sudah tak bisa ditampungnya. Perasaan terdalamnya telah menjerumuskan Dave seperti pangeran penghamba cinta yang tak ingin kehilangan putri impiannya. Dave sadar, dia bukan lelaki muda yang pandai berkata puitis untuk menyatakan perasaannya.

"Dave, a-aku, .... "

"Vlo, tunggu! Aku segera datang. Janji ya, enggak kemana-mana!" Setelah itu Dave langsung mematikan percakapan.

VLO & DAVE  (T A M A T)Where stories live. Discover now