23 ● Pilihan Vlo

16 2 0
                                    


Dave memejam, tangannya mengepal, perlahan mengetuk kening beberapa kali. Embusan hawa dingin menerpa tubuhnya yang terbalut jaket tebal. Selarik angin nakal mencoba menyelusup di sela-sela rongga pakaian yang berbahan rajut itu. Namun, Dave tak peduli. Lelaki itu sepertinya tengah memikirkan sesuatu yang teramat penting dalam kehidupannya. Sesuatu yang harus dilakukan segera agar dia bisa mengambil langkah selanjutnya. Seutas harapan telah membelit impian yang telah terpatri.

"Mungkin ini jalan yang terbaik yang harus aku lakukan," gumamnya sendiri.

Lelaki itu membuka matanya. Pandangannya menerawang jauh ke arah hamparan kerlap-kerlip kota Bandung yang teramat indah kala malam dari rooftop vilanya di kawasan Dago. Hatinya berdesir, mengingat kembali seraut wajah yang telah merampas hatinya dalam beberapa bulan terakhir ini. Namun, seraut wajah itu telah menolak cinta yang dia haturkan dengan segenap rasa.

"Maaf, Dave. Aku ingin sendiri dulu. Aku masih terluka dan butuh proses. Aku enggak menapik perasaan nyaman dan melambung saat bersamamu. Kuharap, kamu bisa ngertiin aku, Dave."

Kata-kata yang meluncur dari bibir Vlo dua minggu lalu kembali terngiang-ngiang. Dave hanya bisa diam saat itu.

"Itu artinya kamu enggak mau menerima cintaku, Vlo," kata lelaki itu akhirnya.

Vlo menoleh. "Aku masih bingung, Dave. Satu sisi, aku merasa kamu bisa menjadi seseorang yang aku butuhkan, tapi ... aku masih ragu, rasanya ada ganjalan lain dalam hati ini. Ada sesuatu yang bikin aku sendiri masih meraba-raba."

"Apa karena Dimitri yang masih ada dalam hatimu? Atau ... karena usia kita yang terpaut jauh?" tanya Dave dengan pandangan sendu.

"Entahlah, Dave. Terkadang aku ingin menutup mata mengenai apa yang kamu bilang tadi, hanya saja aku butuh waktu. Ya, beri aku waktu dua minggu untuk memikirkan semuanya."

Kini, setelah dua minggu kurang dua hari, Dave dilanda kecemasan tinggi. Dia tidak ingin kehilangan Vlo. Dua minggu ini hatinya tersiksa karena rasa rindu yang selalu bergemerincing memenuhi ruang kalbunya. Dave belum pernah merasakan hal itu selama lima tahun terakhir, setelah hatinya terkunci.

Lelaki bermata sedikit sipit itu melihat waktu yang tertera di layar ponselnya. Tiba-tiba dia berdiri, lalu melangkah cepat menuju tangga yang akan membawanya turun ke kamar utama di lantai dasar dan merapikan barang-barang miliknya yang berserakan. Malam telah larut meninabobokan para insan dalam balutan keheningan. Dalam vila yang penuh dengan interior indah itu, dia tak perlu khawatir membuat kegaduhan karena dia hanya sendiri.

Setelah memastikan semua isi tasnya dan mengunci pintu gerbang, Dave meninggalkan bangunan dua lantai dengan pagar tinggi kokoh itu membelah kegelapan malam yang dingin menggigit. Lelaki itu bahkan harus menggosok tangan dengan kayu putih dan menyesapnya. Dago memang dingin dan Dave sebenarnya ingin berlama-lama di sini. Hanya saja, dia sudah memutuskan kembali ke Jakarta.

Dave tersenyum. "Aku yakin, mereka akan mengerti semuanya. Vlo, kamu enggak akan bisa menolakku. Aku tahu, kamu sebenarnya cinta padaku."

*****

"Saya mencintai Vlo, Om dan Tante. Saya punya niat baik dan tulus, bukan main-main. Saya punya tujuan serius, demi masa depan saya dan Vlo."

Dengan penuh ketenangan, lelaki itu berbicara seraya menatap Firman dan Sarah. Keduanya tampak kaget sekali sekaligus berdebar. Bagaimana tidak, Dave mengetuk pintu rumah mereka pukul 6 pagi. Saat itu Firman tengah merapikan taman depan rumah dan Sarah bersiap jalan pagi mengelilingi kompleks. Kejutan pada Minggu pagi.

"Vlo tahu kedatanganmu ke sini, Mas Dave?" kata Sarah dengan wajah semringah. Perempuan itu akhirnya bisa menatap Dave yang kata mertuanya "lelaki tampan calon menantu idaman".

VLO & DAVE  (T A M A T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang