28 ● Terhempas

20 1 0
                                    

"Kamu cemburu, Vlo? Apa kamu tahu peresaanku juga begitu saat tahu kamu berhubungan dengan Restu." Tangan Dave mencengkeram erat lengan Vlo dengan tubuh sedikit membungkuk. Matanya menatap tajam.

Dalam derai air mata yang berkejaran, Vlo balas menatap Dave. Hatinya sakit sekali. "Kamu dendam padaku, Dave? Kamu mau balas dendam? Aku enggak ada hubungan apa pun dengan Restu!"

"Tidak! Aku enggak punya pikiran ke arah sana. Kamu emang kekanak-kanakkan. Curigamu tak beralasan," sanggah Dave seraya mengangkat kedua tangannya. "Kita mesti bicara, Vlo."

Gadis itu menepiskan tangan Dave saat lelaki itu meraih tangannya. "Lalu, kenapa? Siapa perempuan itu? Aku saja enggak pernah memelukmu seperti itu. Kalian begitu intim. Apa kamu pernah melihatku memeluk Restu?" Mata Vlo berapi-api. Napasnya memburu.

Dave terkekeh dengan pandangan menggoda. "Kamu cemburu, Sayang. Oh ya, kamu enggak perlu tahu siapa dia! Dia tidak sebanding denganmu, Vlo! Kamu--"

Kembali tamparan keras melayang ke wajah Dave. Vlo tak sanggup mendengar kata-kata menyakitkan dan merendahkan dari lelaki yang selalu diagungkan dalam kekaguman oleh keluarga dan orang-orang yang mengenalnya. Entah kekuatan dari mana, Vlo mendorong tubuh Dave hingga  jatuh terduduk. Lelaki itu mengaduh kesakitan dan wajahnya meringis menahan nyeri yang menjalar di pinggang.

"Bajingan kamu, Dave! Kukira kamu malaikat, enggak taunya iblis!" teriak Vlo sambil menudingkan telunjuknya ke wajah lelaki itu. Gadis itu kemudian berbalik.

Vlo bergegas menuju mobilnya yang sengaja diparkirkan di luar. Sepatu kets membawa gadis itu melangkah penuh hentakan. Dia menulikan telinga saat Dave memanggilnya, mengiba agar kembali.  Samar-samar terdengar erangan dari bibir lelaki itu. Vlo tak peduli. Hatinya mencelus.

Gadis itu membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi, meninggalkan debu tebal dan menyisakan umpatan kemarahan dan pertanyaan orang-orang yang tak tahu persoalannya. Dave terpana dalam diamnya. Dia tahu, Vlo terluka!

Dave mencoba bangun perlahan, tubuhnya bertumpu pada lengan. Mata lelaki itu berembun. Gelenyar penyesalan mengalir memenuhi rongga hatinya. Dia belum selesai bicara. Begitu banyak hal yang ingin dia ungkapkan dan curahkan kepada gadis tercintanya. Namun, waktu salah datang. Waktu tak bertanya dulu padanya.

Langkah-langkah anggun berirama milik sepatu berhak tinggi hitam terdengar mendekat. Keharuman parfum mahal beraroma lembut menguar, menyesap hingga ke hidung. Sejurus kemudian, kaki jenjang terbungkus stoking tipis serupa kulit terdiam. Dave mendongak. Seraut wajah cantik dengan penampilan anggun, dewasa, dan terlihat elegan membungkuk. Senyum menawan menghias bibir merahnya.

"Dave, ayo, bangun!" Tangannya yang halus dan putih terulur.

****

"Dia, namanya Sabina Pramitha, mantan kekasih Mas Dave yang pernah aku ceritakan dulu, Kak." Gwen memperlihatkan sebuah akun instagram milik perempuan yang dilihat Vlo di ruangan Dave.

Vlo menelusuri potret-potret yang menampilkan Sabina dalam berbagai gaya dan aktivitasnya sebagai dokter dan pembicara kesehatan. Perempuan cantik itu tampak sempurna. Sesekali Sabina berpose sambil merangkul seorang gadis kecil berambut panjang yang juga terlihat cantik dan menggemaskan. Gadis kecil itu berusia sekitar empat tahunan.

"Kenapa Dave enggak pernah ngomong tentang dia? Lalu kenapa dia datang lagi, Gwen? Dan aku memergoki mereka sedang ... sedang ..."  Vlo mengantung ucapannya seraya menutup wajahnya, gadis itu kemudian terisak.

Sewaktu meninggalkan Move On Cafe, Vlo membawa mobil tak tentu arah. Gadis itu menangis sejadi-jadinya. Tebersit dalam pikirannya untuk menggerakkan kemudi ke tengah-tengah jalan yang berarus kencang penuh kendaraan truk pengangkut barang atau menabrakkan mobilnya ke pembatas jalan. Vlo merasa terhempas dan tercampakkan,  untuk kali kedua. Namun, satu kesadaran hadir saat wajah Sarah terlintas memenuhi ruang memorinya.

Vlo mengangguk lemah sesaat setelah Gwen menyodorkan minuman hangat hasil racikannya. Namun, gadis itu tak meminumnya, dia hanya memandang halaman dari kaca jendela kamar Gwen dengan pandangan kosong,

Gwen mengusap lengan Vlo. "Minum dulu, Kak, biar perasaanmu enak! Ini teh chamomile. Aku biasa bikin ini kalau lagi penat atau stres." Vlo menatap ragu, lalu meminumnya setelah Gwen mengangguk.

Keheningan menjeda waktu. Detik-detik berlalu dalam kehampaan hati. Vlo memeluk bantal dengan hati yang redup. Samar-samar terdengar suara dari televisi ruang keluarga dan percakapan beberapa orang. Sepertinya, anggota keluarga Gwen sudah pulang dari tempat kerjanya. Vlo menyingkap tirai kamar. Di luar tampak gelap. Gadis itu menyadari sudah berjam-jam lamanya mengurung diri. Dia melirik ponselnya yang sengaja dimatikan.

Vlo teringat masa-masa indah bersama Dave. Hubungan mereka memang masih hitungan bulan, tetapi  Vlo merasa sangat nyaman berada di samping lelaki yang tak banyak bicara. Vlo semakin tahu jika Dave sedang mengumpulkan banyak uang untuk membuka kafe baru di Jakarta.

"Aku mau namain kafe itu Setahun Kemarin. Kamu tahu apa artinya, Sayang?" kata Dave sambil membuat  konsep bangunan dengan garis-garis yang dibuatnya di kertas putih.

"Apa artinya, Mas?" tanya Vlo sambil memejamkan mata dengan bantalan paha lelaki itu.

"Setahun Kemarin Kafe adalah bentuk cinta kita yang bertemu di tahun lalu. Setahun kemarin yang sangat indah, penuh perjuangan, dan rezeki yang melimpah. Aku bikin kafe itu buat kamu, Sayang! Kamu nanti yang akan mengelola keuangannya sendiri."

"Lho, aku 'kan kerja di rumah sakit, Sayang. Gimana mau fokus ngelola kafe kalau repot jadi perawat?" protes Vlo seraya membuka matanya. Wajahnya mendongak.

Dave menjentik hidung bangir gadis itu. "Kafe itu tetap di bawah pengawasanku, Cinta. Kita punya banyak karyawan yang bisa diandalkan. Didan nanti yang jadi baristanya. Kamu tau banget kan cara kerjanya? Selain itu ada karyawan lain yang bantuin kamu. Kamu tinggal duduk manis, terima duit setoran."

Bibir Vlo merekah. Hatinya membuncah. Dave begitu memanjakannya tanpa banyak kata. Perlahan, tangan Dave mengelus rambut Vlo. Setelah itu dia tenggelan kembali dengan rancangannnya.

Air mata Vlo kembali merebak. Kenangan itu membetotnya pada pusaran kesedihan yang teramat sangat. Dia tak rela kehilangan Dave, sangat tidak rela sama sekali. Namun, rasa sakit hati mengejar jiwanya dan menutup ruang-ruang maaf yang seharusnya dia perjuangkan. Vlo memukul kepalanya dan dia berharap semuanya hanya mimpi yang tak nyata. Sayang, ingatan dan matanya tak bisa berbohong. Potongan-potongan adegan yang dilihatnya di ruangan Dave hanya semu saja.

Tiba-tiba pintu kamar terkuak. Gwen muncul dengan wajah bingung. Vlo menoleh, lalu menatap dengan pandangan heran. Dia tak bisa menyembunyikan penasarannya.

"Ada apa, Gwen? Ada Mas Dave nyusul ke sini? Dia datang? Aku kok enggak lihat mobilnya di depan," buru Vlo.

"Bukan, enggak ada Mas Dave, Kak. Hanya saja aku ada kabar yang mungkin bikin Kakak makin sedih."

"Apa itu, Gwen? Bilang aja!" pinta Vlo

Gwen menarik napas. "Kak, Sabina sudah cerai dengan suaminya. Dia sekarang janda. Aku barusan dapat info dari Mas Rangga."

Byaaar! Hati Vlo kembali menukik tajam. Tubuhnya seraya ditarik ke lubang hitam tanpa dasar dan dia melayang-layang penuh ketakutan.

VLO & DAVE  (T A M A T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang