09 ● Penolakan Vlo

18 1 0
                                    

Vlo melongo. Wajahnya tampak tak menentu. Matanya hanya bisa menatap Oma yang tersenyum penuh rahasia. Ada apa dengan Oma? Gadis itu kemudian menjauh dari neneknya dan duduk di kursi samping kolam.

"Dia siapa, Oma?"

Akhirnya pertanyaan itu keluar dari bibir Vlo. Dia penasaran juga dengan nama asing yang baru saja didengarnya.

Oma mengedikkan bahu, bibirnya masih menyunggingkan senyuman. Perempuan tua itu seperti menemukan celah untuk memberi keyakinan pada cucu perempuan pertamanya. Dia kemudian membuka ponsel, lalu memperlihatkan foto Dave. Aina mengirimkannya kemarin sore.

"Panggilannya Dave atau Dev. Dia anak teman oma di kelas yoga. Anaknya cukup ganteng, tinggi, pemilik kafe di kawasan Jalan Jambore," jawab Oma memberi sedikit bocoran, matanya tak lepas dari foto itu.

Vlo melirik sekilas wajah itu penasaran. "Lulusan mana?" cetusnya.

"Penting ya, dia lulusan mana?"

Vlo merapatkan bibirnya membentuk satu lengkungan ke bawah. Dia merasa Oma tengah mengetesnya. "Ya, setidaknya aku harus tau dia sekolah tinggi atau enggak. Pantas atau enggak dia kenalan denganku."

"Seperti itu? Jadi patokannya pendidikan?" tanya Oma Asmirah kembali.

"Mama bilang, kriteria calon yang datang padaku setidaknya melek ilmu, tahu pengetahuan, serta perkembangan dunia saat ini. Dia juga harus bisa diajak diskusi dan nyambung dengan apa yang aku kemukakan. Jangan sampai dia pendidikannya di bawah aku, kasihan! Setidaknya setara, bisa komunikasi. Lelaki akan mudah minder sama pasangan yang lebih cerdas dan aktif."

Oma terkekeh. "Begitu ya? Dulu oma sama opamu enggak kepikiran ke sana. Kami saling mengerti aja. Opamu 'kan hanya lulusan sekolah madrasah kampung, Vlo."

"Sekarang berbeda zamannya, Oma. Perempuan butuh pasangan yang bukan hanya melindungi saja, tapi yang bisa mengerti dan mendukung kesibukan istrinya, satu pola pemikiran, dan protektif, tapi enggak posesif."

Oma menatap Vlo, lalu dia berkata, "Hmm... Dia lulusan Magister Adminstrasi Bisnis dari SBM ITB. Keren 'kan? Itu sekolah mahal dan lulusannya punya potensi jadi konsultan, pengusaha, atau pemilik usaha. Bener enggak kata oma?"

'Wih, keren juga,' pikir Vlo, tetapi gadis itu masih jual mahal.

Vlo kemudian manggut-manggut. Gadis itu tentu saja tahu sekolah tinggi swasta khusus bisnis milik ITB yang ada di Bandung dan Jakarta itu. SBM ITB banyak melakukan kerjasama dengan kampus serta perusahaan bergengsi dalam dan luar negeri.

"Usianya, Oma?"

"Hmm ... penting juga tau usia dia?" Oma kembali terkekeh.

"Tentu saja, siapa tau dia suami atau calon suami orang, secara udah lulus S2 gitu," tebak Vlo asal.

"No, dia bukan suami orang! Dia masih lajang, perjaka tingting, jomlo, konsultan bisnis sekaligus pemilik kafe bagus, dan usianya ... sekitar 33 tahun! Belum terlalu tua. Gimana, tertarik?' Oma menyorongkan wajahnya.

Vlo melotot mendengar penjelasan panjang Oma. "Apa, usianya 33 tahun?! Masa belum nikah? Oma diboongin kali."

Oma mengangguk, lalu menggeleng. Telunjuknya bergerak ke kanan-kiri berulang kali. "Kamu enggak nyangka 'kan? Wajahnya baby face."

"Enggak deh, jangan, Oma! Aku enggak mau. Usianya itu lho, 10 tahun lebih tua dari aku. Nanti aku dibilang suka om-om. Bang Faraz, cucu Oma paling gede aja baru 28 tahun. Apa kata mereka kalau aku punya calon usianya jauh di atas mereka?" keluh Vlo.

"Lho, kalau jodoh, kenapa enggak? Faraz dan Arsyad, abang-abangmu, enggak bakalan risau mengenai hal itu. Justru mereka akan mikirin kalau usiamu nanti udah lebih dari 25 tahun dan belum punya calon."

VLO & DAVE  (T A M A T)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang