Empat Puluh Sembilan

44 9 0
                                    

Waktu berlalu dengan cepat. Cindy tidak pernah melihat lagi adik kelas yang pernah memotretnya diam-diam. Ken sudah ikut membantu untuk mencari adik kelas itu tapi juga tidak mendapat hasil, karena Cindy tidak tau namanya dan dimana kelasnya.

"Sekarang coba tebak, apa bahasa Indianya bumbu dapur?" Gilang melontarkan tebak-tebakan.

Cindy, Dini dan Kayla mulai berpikir sambil mengunyah siomay yang hampir habis. Saat ini mereka berada di salah satu meja kantin, sedang makan bersama Ken, Gilang dan Arka. Mereka berenam jadi semakin dekat karena sering makan bersama di kantin. Entah kebetulan atau memang cowok-cowok itu yang sengaja selalu datang mendekat.

Beberapa menit yang lalu Gilang menjanjikan, apabila Cindy, Dini dan Kayla berhasil menebak tebakannya, maka Ken, Gilang dan Arka akan mentraktir mereka selama seminggu ke depan.

"Bahasa Indianya bumbu dapur." Kayla mengulangi sambil terus berpikir.

"Aduh susah banget tebakannya, nyerah deh," ucap Dini pasrah.

"Nyerah?" tanya Gilang pada Cindy yang tampaknya masih berpikir.

"Emang apaan?" Cindy bertanya tidak sabar.

Gilang menyengir lebar, sementara Ken dan Arka menyimak sambil menghabiskan minumannya.

"Jawabannya, tumbar miri jahe," ucap Gilang sambil menirukan logat dan gerakan kepala orang India.

Tawa Cindy, Dini dan Kayla langsung pecah seketika, begitu pula dengan Ken dan Arka. Meja mereka mendadak ramai karenanya.

"Wah, baru kali ini gue lihat Cindy ketawa." Ucapan Arka membuat empat orang lainnya yang ada di meja itu kompak menoleh pada Cindy.

Cindy mengusap ujung matanya, tidak terasa air matanya keluar akibat tertawa terbahak-bahak.

Ken memandangi Cindy yang duduk di hadapannya. Sebulan terakhir, dia merasa khawatir karena Cindy selalu terlihat gelisah dan takut. Menurut Ken, Cindy pasti masih memikirkan tentang adik kelas yang memotretnya diam-diam. Itu sebabnya Ken menyuruh Gilang membuat sebuah lelucon untuk menghiburnya. Dan kini Ken merasa sedikit lega saat melihat Cindy setidaknya bisa tertawa.

"Lo cantik banget kalau lagi ketawa," puji Ken tanpa bisa dicegah. Entah kenapa setiap melihat kecantikan Cindy, Ken tidak bisa menahan diri untuk memujinya.

"Ehem." Kayla berdeham dengan keras sambil tersenyum jahil.

"Cieee." Dini ikut-ikutan menggoda Cindy yang salah tingkah dan tidak segera menanggapi pujian dari Ken.

"Balik yuk," ajak Cindy yang gagal menyembunyikan rasa malunya. Jantungnya sudah berdebar tak karuan apalagi saat melihat Ken tersenyum di depannya. Gawat, kalau terus di sini lama-lama jantungnya bisa copot sungguhan.

"Eh, kok balik? Jam istirahat kan masih lama," cegah Gilang.

"Iya, minuman lo juga belum habis nih," imbuh Dini.

"Gue balik duluan deh kalau gitu. Ada pr yang belum gue kerjain," kata Cindy beralasan lalu pergi meninggalkan teman-temannya.

Dini dan Kayla sampai bingung, padahal mereka yakin kalau hari itu tidak ada pr sama sekali. Namun mereka akhirnya memilih untuk menyusul Cindy.

"Tumben nggak lo cegah. Biasanya kan lo selalu menggunakan segala cara buat bikin Tuan Putri tetap ada di dekat lo," cibir Arka.

"Sekarang nggak dulu. Cinta tuh ibarat pasir, kalau lo genggam dengan erat malah bakal tumpah lewat sela-sela jari tangan lo. Jadi lo harus genggam dengan benar supaya dia tetap ada di genggaman lo," kata Ken sok bijaksana.

"Halah, sok bijak lo. Tuh pasir kalau ada tai kucingnya juga pasti lo buang," ledek Arka.

Gilang langsung tertawa karenanya. "Lo pikir pasir bangunan."

Unperfect PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang