Belum sempat Nazeera memutuskan, lagi dan lagi dia dibuat kaget ketika lelaki itu kembali memegang lengannya. Ini benar memegang, bukan menahan seperti sebelumnya.

"Hanya berkenalan," kekeuh lelaki itu.

"M-maaf." Nazeera meringis ketika pergelangannya dicekal cukup kuat. Namun alih-alih melepaskan karena Nazeera yang tak nyaman, lelaki itu malah semakin mengeratkan cekalannya. "Lepasin." Aksen Nazeera tegas, memperingatkan lelaki itu bahwa tingkahnya mulai tak sopan.

"Hei, jangan takut. Saya nggak ngapa-ngapain kamu." Dia melepas pegangannya. Seraya tersenyum tipis dia berkata, "Kalaupun kamu saya apa-apain, saya bakal lembut. Don't worry."

Paham pembicaraan yang dimaksud, mata Nazeera melebar mendengarnya. Tangan Nazeera refleks mendarat di sebelah pipi lelaki itu. Nazeera tidak suka kekerasan, tapi melihat tabiat lelaki di depannya ini, kesopanan bukan lagi hal yang perlu dipertahankan. Ini sudah memasuki pelecehan. Bodoh jika Nazeera hanya berdiam diri lalu menyerahkan.

Lelaki itu menekan pipi bagian dalamnya menggunakan lidah. Panas dan nyeri terasa karena Nazeera menamparnya cukup kuat. Dia kemudian tersenyum ala predator yang tengah kelaparan. "Power kamu boleh juga. Bagaimana kalau kita mencobanya di ranjang?"

****

Arsen menghela napas. Sudah cukup lama dia duduk di dalam ruang pertemuan dengan vice president Tech Company—menunggu kedatangan Nazeera selaku sekretaris yang sampai kini belum juga kembali sejak izin pergi ke toilet. Arsen melirik arloji di tangannya yang menunjukkan pukul 16.05, di mana seharusnya pertemuan dengan vice president Tech Company sudah dilangsungkan. Tapi bukan hanya Nazeera, vice president Tech Company itu sendiri tak terlihat kedatangannya.

Arsen benci situasi ini. Dia benci ketidaktepatan. Arsen benci waktu yang diulur-ulurkan.

"Ada apa Tuan?" Lenia bertanya. Dia ikut berdiri ketika Arsen lebih dulu bangkit dari duduknya.

"Saya akan menyusul Nazeera," jawab lelaki itu mulai berlalu dari sana.

"Biar saya saja, Tuan. Anda tunggu di sini," balas Lenia.

Sebenarnya Arsen menyuruh Lenia untuk tetap tinggal di ruang tadi, namun mengingat tempat yang dia tuju adalah untuk perempuan, lelaki itu memutus mengikutsertakan Lenia bersamanya. Entahlah. Arsen merasa tak tenang. Hati dan pikirannya berisik. Nalurinya meronta agar dia segera menyusul Nazeera.

"Ini toilet wanita, Anda dilarang masuk." Seorang pria bersetelan serba hitam mencegat Arsen yang baru tiba di koridor toilet.

"Saya yang punya keperluan." Lenia menyahut, dia muncul dari balik tubuh besar Arsen.

"Toilet sedang dalam perbaikan, jadi tidak bisa digunakan," kata pria itu lagi.

Arsen mengernyit. Dilihat dari caranya berpakaian, orang ini bukan security atau petugas keamanan lainnya, melainkan ... seorang bodyguard. Arsen merasa ada yang tidak beres.

"Silakan gunakan toilet yang lain terlebih dahulu sebelum masa perbaikan selesai."

Arsen menghiraukan, dia menerobos masuk namun tubuhnya dihadang oleh pria itu. "Toilet sedang dalam perbaikan, tolong kerja samanya!" katanya sarkas.

Arsen menyipitkan mata. Padahal dia adalah laki-laki, lalu kenapa tidak menegur dengan alasan ranah perempuan, kenapa malah mengatasnamakan perbaikan? Ck, kentara sekali berbohong.

Arsen melirik ke samping—di mana Lenia berada, ada pesan tersirat di sana, tak butuh waktu lama untuk Lenia memahami maksud lirikan tuannya itu. Detik setelahnya, Lenia menepis tangan yang menghadang tubuh Arsen.

Pria itu tak terima. Baku hantam tak terelakkan. Perbedaan gender bukan hambatan. Ingatkan bahwa kemampuan beladiri Lenia tak perlu diragukan. Dua, tiga pukulan yang dia layangkan sukses membuat lawannya tumbang.

GREAT GIRLWhere stories live. Discover now