Bagian 15

546 119 12
                                    

Setiap orang punya pemikiran dan isi hati yang tak ingin dibagi atau katakan pada siapapun, termasuk aku. Tak jarang aku merasa kesal ketika didesak padahal bagiku itu lebih baik dipendam sendiri.

Karena itu aku tidak menekan Haqla agar bisa bertanya lebih tentang apa yang terjadi padanya sore tadi. Aku juga tak menuntut Indra tentang hubungannya dengan Siti setelah beberapa hari berlalu sejak pembicaraan malam itu.

Walaupun aku melihat wajah suntuk Indra, aku tetap tak bertanya. Meskipun aku merasa sikap Haqla agak berlebihan tadi, aku tak berharap mendapat jawaban atas rasa penasaranku. Aku membiarkan keduanya dengan persoalan hidup masing-masing.

Selagi masih bisa ku bantu disaat mereka butuh, aku tak keberatan melakukannya. Sisanya hanya bisa ku serahkan pada keduanya karena itu hidup mereka. Aku tak bisa ikut campur lebih jauh karena sedekat apapun kami, bahkan jika dia adikku sendiri, aku tak bisa bersikap seenaknya.

Tapi yang tak bisa ku terima adalah kedua bocah itu pada akhirnya membuatku kerepotan. Mereka serentak tidak ke rumah untuk makan malam ini. Bunda yang terlanjur masak banyak memintaku pergi untuk mengantarkan makanan.

Ayah dan Bunda masih bisa memaklumi tingkah Indra karena adikku itu banyak pikiran. Perasaannya sedang kacau. Dia tetap kekeh dengan pendapatnya padahal ada jalan yang lebih mudah, yang bisa dia tempuh. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi menasehatinya.

Tapi ketiadaan Haqla lah yang membuat kedua orang tuaku bertanya-tanya. Dia yang tidak pernah absen tiba-tiba tak menampakkan diri malam ini. Aku hanya memberi alasan kalau Haqla tampak kurang sehat sore tadi dan mungkin sebaiknya tidak keluar rumah untuk malam ini.

"Indra mana?"

Aku bertanya setelah melihat Haqla berjalan mendekatiku. Dia tampak segar sehabis mandi kilat. Sangat berbeda penampilannya dibanding yang tadi.

Haqla melamun di sofa, terlihat begitu berantakan. Rambutnya kusut, mungkin terlalu sering dia remas. Dia seperti orang yang memiliki utang namun tak bisa membayar ketika sudah jatuh tempo. Luka di punggung tangannya yang entah karena apa itu dia biarkan begitu saja. Pemandangan miris itu yang ku temukan saat masuk ke rumah dimana pintunya dibiarkan setengah terbuka.

"Masih di kamar. Katanya nanti tengah malam waktu bangun dia akan makan."

Aku mengurungkan niat untuk memanggil Indra. "Dia tidur?"

Haqla mengangguk. "Pusing katanya," jawabnya setelah menarik kursi. Dia duduk, kemudian menatap lurus ke arahku. "Kamu sudah makan, Na?"

"Kalau tadi aku makan di rumah dulu, jadinya kesini agak kemalaman lagi." Artinya aku belum makan malam di rumah agar bisa kesini lebih awal.

Kedua sudut bibir Haqla tertarik. "Bagus. Aku ada teman makan."

Aku meraih kotak obat yang tadi sudah ku ambil dari lemari sebelum menarik kursi disebelah Haqla. "Lukanya mau kamu biarin begitu aja?"

"Darahnya nggak keluar lagi, Na."

Aku mengabaikan penolakan Haqla dengan meraih tangannya. "Obati saja dulu."

Aku sudah terbiasa dengan bagaimana lekatnya Haqla menatapku. Sehingga tanpa canggung aku bisa mengobati lukanya dan berakhir dengan memakaikan perban.

"Jadi, apa yang tadi kamu pukuli?" tanyaku setelah memasukkan obat luka dan perban kembali ke kotaknya. "Jangan bohong dengan bilang kalau luka ini karena kamu jatuh."

Haqla meringis. Baru sekarang dia begitu padahal saat aku menekan lukanya tadi, tak ada reaksi apapun darinya. Aku bahkan sempat berpikir, luka seperti ini tak cukup menyakitkan karena dulu dia sering terluka.

Billing My PromiseOù les histoires vivent. Découvrez maintenant