Sama Tapi Tak Seirama

9 4 6
                                    

Mungkin hari itu akan jadi hari kesekian yang mengharuskan Rensa terjerat bersama Juna dengan durasi lebih lama, hanya karena undangan Seminar yang diberikan oleh pihak sekolah kepada para pengurus OSIS membuat mereka harus berjubel di Ruang OSIS untuk briefieng, merelakan jam kelas hari itu hilang.
Pukul 8 pagi semua pengurus sudah terkondisi di Ruang OSIS bersiap menuju lokasi seminar kepemudaan, lokasinya tidak jauh dari sekolah sehingga tidak ada pilihan lain selain jalan kaki lebih awal sebelum acara dimulai.

"Ini kalo bukan karena aku nggak suka mapel di kelas aku ogah jalan kaki sepagi ini. Males banget!"
Gerutu Ilma yang membuat Rensa hanya menggelengkan kepala heran.

"Astgahfirullah, Il. Jalan berapa kilo doang astaga, ngeluhh mulu, pantes nggak gemuk-gemuk, kurang bersyukur, sih." Ucap Juna tiba-tiba menimpali omelan Ilma.

"Heh, body shaming, Jun. Sorry, ya. Dibandingan aku masih ada yang lebih kurus, nih. Si Rensa dah kayak lidi berjalan!"

Mendengar itu membuat Rensa terkejut sekaligus tak terima dilibatkan dalam perbincangan.

"Gausah bawa-bawa aku, ya, Il."

"Mendingan lagi, Lah Si Rofa dahlah. Dah kicik, idup lagi." Sambar Nadhim.

"Ya Allah, aku dari tadi diem lho, Dhim. Masih pagi ini, dah bikin esmosi aja!"

"Eh eh, dedek kecil nggak boleh mayah-mayah, nanti digigit jerapah jadi makin kicik, lho!" Timpal Juna mengejek.

"Jun!!! Sini, gue lempar sepatu lo, ya!"

"Eits, nggak kena. Sepatu adik kicik mana berasa kalo dilempar!"

Keriuhan terjadi, membuat suasana sepanjang perjalanan itu tidak hening, tawa Juna yang meledak ditambah tawa Nadhim yang sungguh cempreng berlawanan dengan pekikan salah satu temannya, Rofa, menjadikan sekumpulan ini menarik perhatian sekitar.
Rensa yang hanya menjadi penikmat seperti kawan lainnya tertawa, terhibur menyaksikan tingkah mereka.
Lain dengan teman-temannya yang sebatas tertawa karena terhibur, Rensa bukan hanya tertawa tapi dia kembali jatuh hati lagi kepada tawa Juna, yang khas dan candu.

Jika ada yang ingin Rensa katakan di saat itu, maka Rensa hanya akan mengucapkan apa yang dia pendam bahwa,

"Sudah sebanyak apa tawa yang aku lihat di wajahnya, tapi bagian tawa mana yang paling membuatnya tidak bisa berhenti untuk jatuh cinta ke Juna? Dan tawa mana yang akan dia lihat sampai akhir?"

Ketika membayangkan itu Rensa selalu berusaha menyadarkan diri sendiri, daripada selalu jatuh hati ke Juna, lebih banyak mana ketika dia harus jatuh dan menerima sesak atas fakta bahwa Juna tidak bisa mengerti perasaannya, dan mungkin tidak akan pernah tahu sebab dia menyimpannya rapat-rapat.

Tiba di tempat seminar Rensa sudah disambut dengan hawa-hawa yang membuat dirinya terpantik semangat, sebuah lagu Nasional menyambutnya dengan riuh dan berisik suara teman-temannya.
Dibalik semua temannya, Rensa sebenarnya paling menyukai dan paling antusias pada acara ini, bahkan dia juga menyiapkan buku catatan kecil di saku seragam, tidak seperti yang lainnya.
Rensa juga menyimak semua rangkaian acara dan materi, mencatat sebisa yang dia pahami, bahkan juga ikut mengajukan pertanyaan.

"Ada hal menarik hari ini. Apa itu? Temen-temen tahu ini tanggal berapa?" Ucap salah satu pembicara saat itu.

Rensa sigap melihat ponsel, tanggal 7 September 2017.

"Ya, tanggal 7 September 2017. Lalu, temen-temen tau nggak angka 7 tuh dianggap angka baik. Alasannya apa, ada yang tau?" Lanjutnya.

"Konon angka 7 itu dianggap angka sial, tapi ternyata di dalam Islam angka 7 itu menunjukkan hal baik, dimulai dengan angka 7 yang masuk dalam angka ganjil yang mana Allah suka sama angka ganjil. Angka 7 dianggap angka keberuntungan, angka ini biasa disebut juga angka surgawi karena tuhan menciptakan alam dalam waktu 7 hari, seminggu juga ada 7 hari, ada 7 keajaiban dunia yang pernah diciptakan manusia, ada 7 planet dan ada 7 dosa mematikan, yang terakhir ini temen-temen bisa cari di internet apa saja." Jelas pembicara yang membuat Rensa terhenyak sebentar.

Aksara Untuk ArjunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang