Titik/Koma(?)

22 4 8
                                    

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Ada bagian dalam diriku yang sengaja kubebaskan, untuk siapapun dapat mengunjungi, melihat-lihat di dalamnya, mengenali, bahkan bila perlu ketika akan mengabadikannya.

Namun, lain pada bagian-bagian yang telah aku siapkan dengan rahasia yang kemungkinan hanya mereka yang teristimewa untuk dapat menelaah isi di dalamnya.

Bagian-bagian itu penting, dan aku pernah mencoba berpikir untuk memasukkan pias wajahmu juga urutan namamu di dalam isi bagian penting itu. Tapi setelah kuraba sekali lagi atas ingin dan rasaku, aku ingin mencari tahu apakah setelah namamu memiliki tempat di bagian itu lantas telah menetap sebagai hak milikku?

Tentu tidak, dan tentu bukan begitu.
"Jun, manusia seperti aku cuma punya kesempatan yang bahkan justru berubah menjadi ketakutan atau keraguan. Aku yakin, Jun, orang dengan inti rasa serupa denganku hanya terhenti pada keputusan memendam daripada diungkap lalu hilang..."

Bercanda jika akhirnya mudah lupa, kalau di waktu berikutnya masih tetap sama rasanya.

_Rens_

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

Jas biru tua, almamater yang bertengger begitu cocok di tubuh Juna menyiratkan kegagahan yang mengeluarkan pesona tersendiri, utamanya bagi Rensa yang menyaksikan bagaimana Juna bersiap untuk orasi di lapangan, di depan khalayak yang akan menjadi pemilihnya.

Di sebelah Juna berdiri Nadhim yang tak kalah berkarisma, meski jas biru di tubuhnya terlihat kebesaran tapi Nadhim tak meluntur sedikitpun rasa semangat dan ambisinya.

Pemandangan yang akan selalu Rensa sukai dari sudut pandangnya berdiri saat ini, di barisan belakang di antara kerumunan menangkap sosok yang begitu jelas fokusnya di mata Rensa.

Juna benar-benar beraura pemimpin ketika telah berhadapan pada titik dan situasi ini, raut muka yang tidak mengenal ramah seolah memberi kesan ketegasan, serta sorot mata yang serius memberi efek garang di matanya. Juna dengan sisi yang selalu dia suka, apapun itu yang terlihat rasanya seperti tidak ada kurang. Tapi mustahil, Juna hanya manusia laki-laki biasa.

"Jadi, jangan lupa pilih nomor 1, ya..." Ucap Juna mengakhiri orasi kampanyenya. Riuhan tepuk tangan mengiringi langkah Juna dan Nadhim untuk kembali ke barisannya semula.

Dan di saat itulah, Rensa kembali menemukan senyum indah dan candu darinya, matanya sipit tenggelam dengan senyum indahnya. Aih, Rensa terpesona lagi. Tangannya sibuk menyeka keringat di leher membuat Rensa tergerak untuk menyalurkan tisu ke barisan arah Juna.

"Good job, Jun..." Bathin Rensa dengan seringai senyum tipis.

Seluruh kandidat sudah melakukan orasi dan kampanye pagi itu, sehingga mulai saat berakhirnya orasi ketiga pasangan itu mendadak menjadi kubu yang harus terpisahkan, bahkan pendukung-pendukung yang jelas oleh mata menunjukkan kampanyenya secara terang-terangan, pun termasuk pendukung Juna-Nadhim yang di dominasi oleh supporter ekstrakurikuler olahraga basket, badminton, bola, dan sebagainya. Terlihat mencolok sekali sebab keriuhan dan kompaknya begitu nyata.

Mungkin jika Juna dan Nadhim tidak menjabat Ketua dan Wakil OSISI pun rasanya tidak akan kecewa berat pula, karena sejatinya mau menjadi Ketua OSIS atau bukan pun Juna sudah punya kehebatan tersendiri di lapangan sana.

Aksara Untuk ArjunaUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum