6. Kapten Dalam Sehari

42 10 3
                                    

Haruskah aku beri tahukan pada mereka, bahwa untuk kali ini aku mengagumimu lebih dari sebelumnya. Wajahmu, postur tubuhmu nampak begitu gagah penuh karisma, kulit kecoklatan dan juga rambut yang terpangkas tipis, membuat wibawamu tak berkurang barang sedikitpun.

Kali ini aku ingin semua orang tahu, dalam balutan seragam inilah mengapa pada akhirnya aku selalu takluk padamu, jiwamu seakan tertukar begitu cepat tatkala kostum putih berpalet bendera merah putih, peci hitam berhiaskan pin Burung Garuda Emas, sarung tangan putih membalut kedua tanganmu, sepatu pantofel ber-hak yang membungkus kedua kakimu, membawamu pada jiwa yang berdarah dingin penuh ambisi, juga kobaran nasionalisme.

Arjuna, sejak saat dirimu mengibarkan Sang Saka Merah Putih di pelataran sekolah kita, itu adalah saat-saat aku yang selalu tersihir oleh pesonamu. Aku tak pernah tahu, sejenis apa sihir yang kau tabur pada saat-saat itu, yang jelas aku tak pernah gagal untuk merasa kagum atas sosokmu di dalam balutan seragam putih, seragam yang kau banggakan untuk memanggilmu sebagai seorang Kapten dan juga Jendral.

Hari ini pun sama, 17 Agustus tahun kedua, aku tersihir ketika wajahmu melintas dari balik manusia yang sedang berbaris rapi.
Seragam putih itu selalu membuatmu terlihat menarik, dan sorot matamu yang seperti elang, meski sipit selalu menunjukkan rasa bangga.

"Pasukan saya ambil alih. Semuanya!!! Siaaap Graaak!!! Mari kita luangkan waktu sejenak untuk berdoa agar kegiatan Aubade hari ini berjalan lancar, dan bisa mendapat piala juara. Berdoa, mulai!"

Suara Arjuna lantang mencekik langit yang mulai terik, otot-ototnya menegang ketika melantangkan koaran semangat yang berapi-api, membuatnya nyaris tercekik jika memaksakan suaranya tetap meninggi.

Aroma keringat yang masih bercampur wangi parfum ramah menyapa indera pembau, hal yang biasa untuk dihadapi. Seolah tak mengijinkan padamnya semangat Arjuna kembali berkoar, menyalakan getaran semangat setiap mereka yang mendengar di arena aula itu.

"Siapa kitaaa?!" teriak Arjuna lantang

"Juara!!!" sahut pasukan di hadapannya.

"Siapa kitaaa?!"

"Sang Juara!!!"

"Kurang keras! Siapaaa kitaaa?!" ulang Arjuna dengan suara semakin melengking memenuhi antero ruang Aula.

"Sang Juaaaraaa!!!"

Suara itu menggema, memenuhi aula, menggetarkan dada sesiapa yang mendengarkannya. Tidak mengijinkan semangat dalam dada meluntur begitu saja, jemari-jemari itu menggenggam stik dengan bendera merah putih diujungnya, tangan-tangan mengepal erat di depan dada.

Dan aku yakin, mereka memang Sang Juara diantara rasa malas yang sering menggoda mereka.
Dan aku yakin, mereka memang Sang Juara diantara segala bentuk alasan untuk terus rebahan atau ogah-ogahan.

Demikian, memang seharusnya bendera itu tetap kukuh di dalam dada generasi bangsa. Dia tetap harum dalam sanubari jiwa para pemuda.
Tidak lagu dan syair pujangga, yang lagi-lagi membawa jiwa merana.
Berkibarlah Sang Merah Putih,
Dalam nuansa indah dan langit yang cerah.
Berkibarlah Sang Merah Putih,
Dalam gegap gempita kami yang berjiwa merdeka di hari merdeka ini.

Meski teriknya sungguh memanggang kulit kami, maka biarkan dia membakar semangat kami. Menimbulkan bara yang sering terbenam dalam jiwa.

Di hari merdeka ini, keringat, suara lantang kami, juga kedua tangan kami yang menegakkan kedua bilah bambu di jemari kami, tetap tegap dan berkibar memenuhi hijaunya tanah lapang.

Aksara Untuk ArjunaWhere stories live. Discover now