2. Aksara Tentang Sapaannya

110 12 7
                                    

====================================

Hai, Selamat datang dalam aksaraku, Tuan.
Ketika aku menulis ini aku tengah meyakini jika kelak kamu akan berkenan membacanya. Padahal akupun tahu, bagimu membaca adalah sesuatu yang memberatkan.
Kau lebih suka bermotoran, bermain badminton, atau terkadang memilih menghisap barang berasap itu.

Tuan, dalam aksaraku ini engkau adalah tokoh utama, sedangkan aku adalah irama yang mengikutimu kemana saja dengan begitu bodohnya.
Terkadang pula, aku memutuskan untuk menjadi peran figuran untuk aksara tentangmu.

Hai, Kapten. Selamat membaca, ya. Seberat-beratnya minatmu untuk mengeja huruf-huruf, kata-kata, dan barisan kalimat ini. Kumohon bacalah hingga tuntas.

~~~ Rens ~~~

====================================
.
.
.

"Agak atasan dikit, bisa nggak?"

"Bisa, sih. Tapi gue-nya yang takut jatoh!"

"Yaudah tenang, kupegangin ini kursinya..."

"Bukan takut jatuh ke situnya, tapi takut jatuh cinta ke kamunya. Wkwk."

Damn! Mulut laki-laki itu benar-benar tidak bisa ditata dengan rapi sama sekali, seenaknya melontarkan kalimat bermuatan nuklir. Bahaya, membuat debar tak karuan di dadanya.
Apa daya, yang terjadi selanjutnya hanya hening.
Laki-laki itu kini mengatur langkahnya perlahan menuruni kursi tinggi yang membantunya memasang hiasan sebuah dekorasi panggung. Hening yang semula menciptakan canggung, berubah ketika tawanya terlepas.

"Oii! Diem aja. Gimana? Kurang apa lagi?"

"Nggak, nggak ada yang kurang. Udah bagus."

Masih setengah bergelut pada debar di dada, Perempuan berkerudung putih itu memalingkan wajah menghindari serbuan tajam dari tatap laki-laki di hadapannya. Jemarinya sibuk memilin kertas payung di dekatnya, lalu mengumpulkan kembali bersama kertas-kertas lain yang bertebaran di lantai dekat panggung.

Sedangkan laki-laki yang berdiri di dekatnya itu meneruskan aktivitas menimang hasil karya pada sebuah dinding yang nantibakan menjadi sebuah panggung dan juga spot foto.
Dalam benaknya pun juga sibuk mencerna pada apa yang telah dia ucapkan sebelum dan sebelumnya, terasa aneh saja.

"Jun, kalau udah selesai kamu boleh pergi, kok. Makasih ya udah dibantuin."

"Oh, udah? Nggak apa-apa gue tinggal, nih? Elo sendirian disini ngga apa-apa?"

"Iyaa, lagian ini juga bukan jobdesk-mu, kan? Santaii..."

"Okelah kalo gitu, Gue duluan!"

Langkah laki-laki itu menyisakan seseorang yang kini mulai merasa lega atas tabuhan di dadanya yang begitu kencang. Sudah cukup bagus sandiwara tadi untuk mengelabuhi lelaki itu tentang rasa yang bergemuruh di dirinya.

"Bahaya banget nih, Arjuna. Bisa-bisa jantungan gue. Udah baper nggak ketulungan ini, Ya Allah..."

Gumamnya pelan sambil menepuk-nepuk dada, untuk selanjutnya merebahkan diri pada sebuah tumpukan karpet merah.
Sambil memejamkan mata, dia kembali pada masa-masa itu, masa-masa ketika bangku putih abu-abunya terasa lebih berbunga.

-•••-

Aku pikir itu adalah hari dimana perasaan itu kuat menabuh dadaku, tapi tidak, jauh sebelum itu aku selalu merasakan hal yang sama padanya, pada nama yang seringkali kusamarkan dengan berbagai cara.

Aksara Untuk ArjunaWhere stories live. Discover now