Tiga belas

57 8 2
                                    

Sudah hampir dua jam mereka memutari isi hutan, namun tak kunjung melihat tanaman yang dicari. Wajah keempatnya juga mulai mengusut--terutama Rafael, pria itu sudah mengomel sejak tiga puluh menit yang lalu, ia terus-menerus menyalahkan Hunter yang menawarkan diri sebagai pengarah jalan.

"Langit sudah nyaris menggelap," gumam Hara sembari mendongak--menatap warna langit yang sudah tidak secerah awal memasuki hutan liar ini.

Rafael berdecak. Mulutnya tidak menanggapi pernyataan Hara barusan, namun kedua bola matanya terus menatap sekeliling hutan dengan tatapan waspada. Tempat yang mereka pijak saat ini bukanlah tempat yang aman, mengingat Deon--pemimpin klan vampire--saja bisa memasuki hutan ini dengan mudah. Kita tidak tahu makhluk mengerikan apa saja yang berada di tempat ini bukan?

"Haruskah kita mengirim telepati ke kantor pengaduan dan menyerah saja? Aku tidak yakin kita bisa menemukan tanaman itu meski terus berjalan," kata Hara memberikan pendapatnya.

Rafael mengangguk, setuju dengan Hara, tidak ada jaminan mereka dapat menemukan tanaman Geora. Tanaman itu susah ditemukan, bahkan konon katanya tanaman itu telah punah. Lagi pula jika tanaman itu memang ada, kelompok lain sudah pasti menemukannya terlebih dahulu--mengingat mereka sudah terjebak dua jam di hutan liar ini.

Namun, pendapat Hara langsung ditolak mentah-mentah oleh laki-laki berambut pirang yang sedari tadi hanya diam dengan wajah menyebalkan di sebelah Hunter. "Tidak! Kita tidak boleh menyerah begitu saja. Kita sudah berjalan sejauh ini, ayo berusaha sedikit lagi, oke?" Kiko menaikkan sebelah alisnya.

Rafael mendecak. Baru saja ia hendak melangkah maju untuk memberikan sedikit pukulan terhadap Kiko, tangan Hara sudah terlebih dahulu menahannya.

"Lalu, kau ada rencana apa? Kita tidak bisa terus-menerus berjalan masuk ke dalam hutan seperti ini, bukan? Malam akan segera tiba, hutan liar ini akan semakin berbahaya," balas Hara yang sejujurnya juga sudah mulai merasa jengkel dengan Kiko.

Kiko hanya diam. Laki-laki itu juga tidak memiliki rencana. Ia hanya berpikir terlalu sia-sia untuk menyerah saat ini.

Rafael kembali mendecak, kali ini lebih keras, tampaknya kesabaran pria itu mulai habis.

"Aku punya rencana." Hunter menyeletuk.

Rafael, Hara, dan Kiko, kompak menoleh.

"Rencana sampah apa lagi yang kau punya?" tanya Rafael sinis.

"Rafael ...," tegur Hara pelan, kemudian menggeleng kecil saat Rafael menoleh padanya.

Rafael hanya mendengkus, tidak membantah.

"Kau ada rencana apa?" tanya Hara dengan nada mulai malas.

"Bagaimana jika kita berpencar?"

Mendengar saran tidak masuk akal seperti itu, kedua bola mata Rafael nyaris melompat keluar. Ia hampir melemparkan sebuah pukulan keras jika saja Hara tidak menahannya.

"Kau gila!" umpat Rafael tak habis pikir, "Kau menyarankan kita berpencar? Di sini? Di hutan liar berbahaya yang bahkan tidak kita ketahui ada apa saja di dalamnya?"

Hara mengacak rambutnya sebentar, kemudian ikut menyeletuk, "Maaf, Hunter, namun kupikir kata Rafael benar. Terlalu berbahaya jika kita berpencar di hutan liar ini ... ditambah langit sudah mulai gelap."

"Aku setuju dengan Hunter," kata Kiko tiba-tiba.

"Maaf, Rambut Pirang, namun persetujuanmu tidak dibutuhkan di sini," sahut Rafael dengan mata menyorot Kiko tajam.

Wajah Kiko mulai memerah, tampak kesal dengan kalimat Rafael barusan.

Hunter menghela napas. "Aku mengerti maksud kalian berdua. Aku juga tahu, hutan ini terlalu berbahaya jika kita berpencar. Namun, kita tidak akan mendapat hasil jika terus seperti ini. Aku tidak mengatakan kita harus berjalan sendiri-sendiri, hm ... ya, kita bisa membagi jadi dua. Misalnya aku bersama Ha--"

"Oke, aku dan Hara ke arah Barat," potong Rafael, lalu menarik tangan Hara mengikutinya, meninggalkan Hunter yang belum menyelesaikan kalimatnya.

Hara sedikit tersandung saat berusaha menyamakan langkahnya dengan Rafael yang menariknya tiba-tiba.

"Pelan-pelan," ujar Hara menyadarkan Rafael.

Sadar akan perbuatannya, laki-laki itu segera memelankan langkahnya--namun, genggamannya di tangan Hara tidak ia lepaskan. "Maaf," kata Rafael.

Hara hanya mengangguk sebagai respon. Mata keduanya terus melirik ke sisi kanan dan kiri, terus was-was dengan keadaan sekelilingnya.

Rafael berdecak. "Aku tidak merasa berpencar adalah keputusan yang benar," gumamnya.

Hara mendengarnya, namun memilih diam meski menyetujui hal itu.

"Terus berada di sebelahku," kata Rafael, kemudian menautkan jemari keduanya, "aku akan melindungimu, jadi terus berada di sisiku."

~Bersambung

Makin aneh? Semoga enggak😭
Udah satu tahun aku nggak update, ya?
Semoga masih ada yang menunggu cerita ini dan bersedia lanjut membaca.
Setelah ini kisah Alpha Rafael akan mulai fase serius(?) jadi ditunggu yaaaa!

She is My MateWhere stories live. Discover now