Arjuna Senja 16

Mulai dari awal
                                    

Mereka sudah sampai di bandara, setelah perpisahan yang benar-benar menyisakan kesedihan. Meskipun berat hati untuk melepas pergi, Arjuna Senja tetap teguh pada
pendirian untuk melangkah demi menggapai cita-cita dalam satu bahtera
rumah tangga. Lambaian tangan mengiringi langkah keduanya, disertai air mata yang
tiada henti mengukir sebuah harapan dalam penantian untuk satu
pertemuan yang akan indah pada waktunya.

***

Sepulang dari bandara sekitar dini hari, ayah Pramudya dan bunda
Kartiwi masih saja menangisi Arjuna Senja. Bukan hanya itu, mereka
semakin menangis karena Elang terus mempertanyakan kepergian Senja
melalui video call. Setelah menjelaskan banyak hal, akhirnya
perbincangan di telepon itu pun selesai. Mata enggan untuk terlelap, ayah Pramudya masih memikirkan satu hal tentang kedua putranya. Sebagai orang tua, beliau tentunya menyadari bahwa ada sesuatu yang telah terjadi hingga menimbulkan perpecahan pada hubungan kakak beradik itu.

Di ruang keluarga, ayah Pramudya lantas bertanya secara langsung pada
Jay dan meminta penjelasan darinya. Jay mengakui segala tentang
dirinya dan Elang tengah berseteru hebat.

"Mengapa kalian berseteru, bukankah kalian saudara? Sejak kapan? Ayah
perhatikan, kalian berdua sudah cukup lama tidak saling menyapa. Bahkan, Ayah sering merasa kalian jarang hadir bersamaan, apa kalian tahu kalau Ayah merasa kehilangan kalian berdua. Mengapa demikian, Jay?"

Jay Pramudya hanya teretegun, wajahnya tertunduk dipenuhi rasa
menyesal. "Sejak kami pergi ke camping, Ayah," sahutnya.

Ayah Pramudya tertegun. "Apakah selama itu kalian tidak lagi saling bicara?" Jay mengangguk secara perlahan. "Katakan pada Ayah apa masalahnya?"

Jay terperangah, hatinya gelisah dan merasa bingung. Tentang apa yang harus ia katakan pada ayahnya itu.

"Jay, apakah kamu tidak mendengarkan Ayahmu ini? Mengapa kamu diam saja? Jawab Ayah, Jay," tukasnya.

Jay menghela napas secara perlahan meskipun sukar untuk diutarakan, tetapi ia ingin mulai memberanikan diri dan mengatakan segala kebenarannya pada ayahnya. Jay menjelaskan bahwa Elang marah padanya lantaran Jay tidak ada di saat Elang butuhkan. Jay tidak ada di saat Senja terluka. Orang tua itu sangat terkejut, karena Jay juga mengakui hubungannya dengan Widuri, termasuk perbuatan terlarangnya saat itu.

"Astaghfirullahaladzim ...." gumam ayah Pramudya seraya mengucap
istighfar.

Penuturan Jay bagaikan petir yang menyambar, membuat ayah Pramudya tak dapat berkata-kata.

Jay lantas berlutut di kaki ayahnya dan bersimpuh memohon ampun atas segala dosa yang telah ia perbuat selama ini. Sebagai seorang ayah, beliau merasa sakit hati, pasti malu dan sangat bersedih karena putra yang selalu ia banggakan nyatanya berani berbuat hal yang tidak terhormat seperti itu.

"Sudah berapa lama kamu berbuat demikian, Jay?" lirih sang ayah.

"Semenjak di tempat camping, Ayah." Jay dengan sama lirihnya.

"Berapa kali kamu melakukan hal hina itu, Jay?" Jay terdiam cukup lama. "Jawab Ayah, Jay!" tegasnya.

"Ti-tiga kali," gumamnya.

Ayah Pramudya mengerjapkan mata hingga air matanya lolos tak tertahankan.

"Kamu berdosa, Jay!" ucapnya, bagaikan suara petir yang menggelegar. "Akh!"

Tiba-tiba, ayah Pramudya merasakan sesak yang teramat di dadanya.

"Ayah!" Jay kini bangkit dan menopang tubuh ayahnya yang hampir tumbang.

"Bunda!" seru ayah Pramudya dengan lirih memanggil istrinya. "Bunda ...." panggilnya.

"Bunda!" Jay ikut serta memanggil ibunya itu.

Tidak lama kemudian, bunda Kartiwi mendatangi keduanya.

"Ada apa?"

Beliau tercengang lantaran melihat suaminya sedang dipapah oleh Jay.

"Ayah, ada apa ini?"

Bunda Kartiwi bergegas membantu memapah suaminya dan ikut membawanya untuk duduk di sofa. Ayah Pramudya berusaha mengatur napas, sementara bunda Kartiwi bergegas mengambil air ke dapur.

"Ayah, maafin aku." Jay melirih dan bersimpuh di kedua kaki ayahnya.

"Bangun kamu, Jay!" titahnya.

Jay memandangi ayahnya dengan penuh air mata, perlahan ia pun bangun dan berdiri tepat di hadapan ayahnya. Beliau juga ikut berdiri di hadapan putra sulungnya itu, dan mendaratkan satu tamparan tepat di salah satu pipi tampan Jay Pramudya.

Plaakk!

Jay hampir tersungkur oleh tamparan yang begitu keras dari sang ayah. Bunda Kartiwi yang kebetulan baru tiba dari dapur, sontak
terperangah hingga segelas air yang beliau bawa kini tumpah jatuh ke lantai, sampai pecahan belingnya berserakan.

"Ya Allah, Ayah, apa yang Ayah lakukan pada Jay?"

Bunda Kartiwi bergegas mendekat ke samping Jay dan merangkulnya seketika, memandangi
bekas tamparan suaminya yang kini merah membentuk telapak tangan
"Istighfar, Ayah!" tukas bunda Kartiwi seraya menangis. "Kamu nggak apa-apa, Nak?" Beliau pun berlinang air mata.

Arjuna Senja√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang