PROLOGUE

50 9 2
                                    

Di sore yang temaram di sudut kota. Bapak dan anak gadisnya-- Marcellia Nivazenith berkeliling-keliling kampung dengan sepeda unta butut.

Dengan penuh semangat, bapak mengayuh sepeda tanpa mengindahkan peluh yang berbondong-bondong mengucur deras membasahi pelipisnya dan juga baju lusuhnya.

Guratan kebahagiaan begitu kentara di wajah bapak yang mulai mengeriput. Tak jarang, sesekali terdengar hembusan nafas berat karena terlalu bersemangat tanpa memperdulikan penyakit asma-nya yang kapan saja kambuh.

Tetiba bapak menghentikan sepedanya di depan rumah yang masih dalam proses pembangunan. Bapak turun dari sepeda, begitu pula Marcellia.

Dengan nafas terengah-engah, bapak mendaratkan bokongnya pada tempat duduk kecil terbuat dari semen. Bapak mengelap peluhnya sembari menatap penuh arti pada putri angkatnya yang tengah menatap rumah dengan mata berbinar-binar.

"Rumahnya keliatan mewah banget ya, Pak. Padahal masih setengah jadi. Gimana kalau udah jadi, beuhhh keren banget." serunya. Tak henti-hentinya merapal setiap kalimat pujian yang terlintas dalam benaknya.

Mendudukkan diri di sebelah bapak, "Pak, kalau Cellia udah sukses, Cellia janji, bapak bakalan tinggal di rumah mewah kaya' gini, jadi, ga perlu lagi deh panik nyari ember penampung air kalau hujan." keduanya terkekeh geli.

"Kamu mau tinggal disini?" celetuk bapak tiba-tiba.

"Mau banget, Pak."

Marcellia tak bisa mengalihkan pandangannya dari rumah yang tampak begitu mewah. Terbayang dalam benaknya tinggal di rumah mewah, dan hidup bersama yang terkasih. Hidup bahagia bersama bapak dan bersama sosok lelaki yang ia idam-idamkan. Lelaki yang telah ia rancang sendiri, baik sifatnya, maupun wajahnya, semuanya dalam benaknya. Jika ada cara untuk menyatakan sosok hayalan itu, ia rela membayar berapapun asalkan lelaki itu nyata dan mengisi celah kekosongan dalam jiwanya.

Tanpa disadari, bapak menatap sendu pada Cellia. Andai Cellia tau, rumah ini adalah rumah ibunya, apakah Cellia akan meninggalkannya, dan membiarkannya sendiri bertemankan sepi? Atau, malah Cellia tidak ingin tinggal di sana dan menemani sisa-sisa hidupnya?

"Kamu pilih yang mana? Tinggal di rumah mewah sama ibu kandung, atau tinggal di kontrakan kumuh sama bapak?"

Cellia menatap bapak heran. Sejurus kemudian ia tertawa kecil. "Gimana caranya Cellia tinggal di rumah mewah sama ibu? Sedangkan Cellia aja ga pernah ketemu ibuk sekalipun. Bahkan, Cellia cuma tau  separuh wajahnya, itupun dari  robekan kecil foto yang udah burem."

Bapak menghela nafas panjang. Ia tatap kaki kurus keringnya yang dibaluti dengan celana hitam pudar. "Kalau misalkan ibu kamu ngajak tinggal di rumah mewah, mau?"

Ia tatap bapak sekilas. Beralih ia menatap langit yang semakin lama kian merah keorenan. "Cellia ga mau deh, Pak."

Terbesit rasa bahagia dalam hati bapak. "Kenapa ga mau?" meski ia tak rela berpisah dengan Cellia, tapi logikanya masih berjalan. Ia akan menjadi orang yang paling jahat jika ia melarang seorang ibu dan anak hidup dalam satu atap.

"Karena...."

Ucapannya tergantung tatkala lelaki yang tengah berjalan menyenggol sepeda bapak dan terjatuh tepat di tulang kering bapak.

Kontan saja Cellia menatap nyalang pada lelaki tak dikenal ini. Benar-benar ia tilik lekat hingga lelaki  dihadapannya salah tingkah.

"Maaf," cicitnya pelan. Setelahnya, ia memasangkan tudung sweaternya dan bergontai seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Hei, lelaki tidak tau sopan santun. Penampilan kau saja yang seperti orang berpendidikan. Tapi tingkah laku kau lebih buruk dari manusia purba."

Seolah-olah kakinya tertahan, lelaki itu menghentikan langkahnya. Menolehkan kepalanya sekilas, kembali ia gontaikan kaki jenjangnya yang dibalut jeans biru laut.

DIFFERENT[✓]Where stories live. Discover now