Liberta |Chapter 02

101 39 7
                                    

Sang surya sudah mulai menenggelamkan diri, dan langit jingga sudah semakin memerah, menandakan sore hari akan segera tergantikan oleh malam. Pemuda bernama Adrian Martadinata menghela napasnya dengan berat sembari merapihkan barang barangnya ke dalam koper.

Pemuda itu sudah bulat dengan keputusannya. Ia akan pergi dari rumah ini. Namun, tiba-tiba ingatan masa kecil lelaki itu kembali terputar di kepalanya.

Siang itu, pada pukul 15.00 Am waktu Indonesia bagian barat. Seorang anak lelaki bertubuh kurus baru saja pulang sekolah. Namun, bukanya beristirahat ia malah dipaksa untuk terus belajar, entah itu belajar untuk olimpiade atau untuk menjadi seorang pembisnis.

"Pah Adrian cape, di sekolah Adrian udah belajar di sini Adrian juga dipaksa belajar, Papah minta Adrian masuk OSIS Adrian turutin. Adrian kurang apa pah!" ucap anak lelaki berusia 15 tahun itu dengan lirih.

"Diam! Saya lakuin ini karena ini yang terbaik untukmu," ucap Caserdo, pria itu memberikan beberapa tumpukan buku kepada anaknya.

Ardian hanya bisa menundukkan kepalanya, sudah biasa bagi Adrian. Pagi hingga malam anak lelaki itu terus berkutik dengan buku-buku dan layar laptop. Usianya yang masih terbilang muda dipaksa untuk memahami semua itu.

Orang orang bilang seharusnya anak seusianya sedang menikmati masa-masa remaja.

Tapi. Adrian tidak mendapatkan itu

"Papa mau kamu pahami itu," ucap pria itu, dan kemudian dia duduk di sebelah anaknya.

Jika dirasa anaknya kesulitan pria itu akan mengajarinya dengan tegas, hingga membuat Adrian berpikir bahwa dia harus bisa melakukan itu.

Seorang perempuan menghampiri mereka berdua, membawakan segelas susu hangat dan biskuit cemilan. Perempuan itu bernama Kamila dia adalah Ibundanya Adrian.

"Pah kamu enggak usah sekeras itu sama Adrian, kasihan dia masih kecil." Kamila meletakkan nampan berisikan susu, kopi, dan cemilan di atas meja yang terlihat kosong.

"Kalau saya enggak didik dia dengan keras, Adrian enggak akan bisa maju."

"Tapi, bukan begitu caranya Pah," ujar perempuan itu.

Tak ingin kedua orang tuanya terus terusan berdebat anak lelaki itu mengalihkan pandanganya dari layar monitor laptop, dan mencoba melerai mereka.

"Nda, Adrian udah terbiasa koh... jadi enggak Papa, Adrian enggak cape ko nda" ucap Adrian berbohong, padahal nyatanya Adrian sungguh lelah.

"Noh toh anaknya sendiri bilang gapapa," ucap Caserdo.

Ingatannya kini sudah kembali ke masa kini, bibir lelaki itu tersungging tak kala mengingat kisah masa lampaunya. Yang mana sejak usianya masih kecil lelaki itu harus bisa menuruti keperfeksionisan yang dimiliki papanya-Caserdo Wiliam Martadinata.

Seorang wanita setengah paruh baya mengetuk pintu kamar lelaki itu. Adrian mengetahui siapa yang sedang mengetuk pintu kamarnya, itu pasti Bunda.

"Masuk aja Nda, pintunya enggak Abang kunci," ucapnya

Wanita itu membuka pintunya dan setelah pintu terbuka wanita itu langsung mendudukkan diri di samping anak sulungnya, wanita itu menggenggam lengan anak lelakinya.

"Kaka serius mau pergi dari rumah ninggalin Bunda, Andira, dan Raya?" tanya perempuan paruh baya bernama Kamila. Sebelum melanjutkan ucapannya wanita itu menghentikan kalimatnya sejenak sembari menepuk-nepuk pundak Anaknya. "Coba Kaka pikirin lagi, papa pasti lagi emosi pas itu." tuturnya

Liberta [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang