3. Penjara Hidup

66 11 9
                                    

"Penjara hidup, hanya kamu yang dapat membantu saya keluar dari penjara ini."

- Jevano Georgino

♡♡♡

Nettha terbaring di sofa ruang tamunya, dengan tas sekolah yang ia jadikan bantalan untuk kepalanya. Gadis itu menatap langit-langit kamarnya sambil memikirkan tentang ucapan Jevano tadi.

Kenapa dia maksa banget? Minta gue buat enggak tolak tawaran pernikahannya. Pasti ada sesuatu yang sengaja dia tutupin. Nettha bertanya-tanya dengan dirinya sendiri, hingga membuatnya tak fokus. Bahkan saat Mamanya memanggil, gadis itu tak menggubris sama sekali.

"Nettha!" Fokusnya kembali, ketika Mamanya menepuk lengan Nettha.

"Kenapa Ma?" Gadis itu menoleh ke arah Mamanya yang tengah mematikan televisi yang menyala dengan volume yang sangat kencang.

Mama Nettha meletakkan remot televisinya, lalu menghadap ke arah gadis itu, sambil memegang pinggangnya. "Kamu yang kenapa? Malah nanya Mama. Masuk main nyelonong, di panggil nggak nengok-nengok. Ada apa emangnya?"

"Tadi Nettha abis ketemu Jevano." Mendengar jawaban Nettha, Mamanya terkejut, bagaimana bisa mereka bertemu tanpa ada pembicaraan.

"Ngapain?! Jevano ada ngomong apa sama kamu?"

Nettha bangkit, ia duduk dan bersandar di sofanya. "Panjang deh ceritanya, tapi intinya, dia nggak mau kalo Nettha tolak tawaran pernikahan itu." Mama Nettha bingung, ia jadi penasaran dengan apa yang di bicarakan Jevano pada Putri semata wayangnya.

♡♡♡

Jevano menutup pintu mobilnya yang terparkir di garasi, beberapa mobil terparkir disana, dari warna hitam, biru, merah, bahkan hijau pun ada. Jevano keluar dari garasi itu, dan terlihat rumah yang terbilang besar, seperti Istana.

Rumah itu terdiri dari 2 lantai, tangga yang membelok di halaman rumah, membuat rumah itu terlihat elegan. Jevano melangkah menaiki anak tangga di rumahnya, ia membuka pintu kayu yang sangat besar.

Seorang pria paruh baya terlihat duduk di sofa ruang tamu, seakan tengah menunggu seseorang. Jevano melintas di hadapan pria itu, tanpa menoleh sedikit pun. "Jevano."

Jevano menghentikan langkah kakinya ketika pria paruh baya itu memanggilnya. "Apa?" Ia menoleh malas.

"Dari mana kamu jam segini baru pulang?" Kini jam menunjukkan pukul 7 malam, Jevano memutar matanya malas, ia tak berniat menggubris pria itu.

"Tadi Papa ke kantor jam 2, kamu enggak ada di sana," tanya pria itu, "kemana?"

"Kenapa emangnya? Saya bukan anak kecil lagi, jangan atur-atur saya. Lagi pula, sekarang masih jam 7 malam bukan jam 12 malam."

"Iya, Papa tau. Inget kesepakatan kita, kan?" Pria paruh baya itu berdiri, mendekati Jevano.

"Kalo saya menikah, tanggung jawab Papa lepas. Iya saya inget, makanya saya nggak nolak tawaran Bu Yuni untuk menikahkan saya dengan anaknya," kata Jevano, "udah, saya cape. Mau istirahat dulu, malam Pa."

Jevano pergi meninggalkan Papanya, ia masuk ke dalam kamar. Ruangan yang terlihat sangat gelap, karena berisi dengan barang berwarna abu-abu yang membuat suasana di ruangan itu suram.

No, I don't...Where stories live. Discover now