falling star

13 1 0
                                    

"Membayangkan keduanya bersama saja sudah merupakan hal yang sulit ditakar oleh nalar."

"Gue yang deketin Ara. Bukan sebaliknya."

Kehebohan yang semula meredup seketika kembali tercipta usai Ale mendeklarasikan sesuatu guna membela Ara. Cal dan teman-temannya sukses dibuat speechless, begitu pula dengan Ara yang terus memandang lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.

Apa maksudnya? Batin gadis itu.

"Jadi, mulai sekarang hapus rumor nggak jelas itu dari otak kalian." Ale menatap tajam empat orang gadis tersebut secara bergantian. "Kalau gue masih lihat rumor itu ada di mana-mana, gue nggak bakal tinggal diam."

Usai memberi peringatan pada Cal dan teman-temannya, Ale menggenggam lembut tangan Ara dan membawa gadis itu pergi menjauhi kerumunan. Bisik-bisik kembali terdengar. Kedekatan yang mereka tunjukkan membuat para gadis menggigit jari mereka.

Omong-omong, bagaimana dengan Cal? Sebaiknya jangan ditanya. Gadis itu tentunya merasa kesal melihat Ale menggagalkan rencananya untuk menjatuhkan Ara.

Dasar brengsek! Batinnya.

***

Setelah memastikan keduanya jauh dari pandangan orang-orang, Ara buru-buru melepas genggaman tangannya. Gadis itu terlihat kesal, matanya membulat dan keningnya bertaut heran.

"Jelasin ke gue sekarang."

"Soal?" Ale balik bertanya.

"Soal yang tadi! Lo bohong, kan?"

Ale terdiam sejenak sebelum menjawab singkat. "Nggak, gue serius."

"Hah? Maksud lo apa, sih?" Ara semakin dibuat syok dengan kalimat singkat yang baru saja diucapkan Ale itu. Namun, pemuda itu tak lantas memberinya jawaban.

"Bener-bener nggak nyangka. Ternyata, selama ini gue dibodohi." Ara tertawa getir. "Jadi, selama ini lo baik sama gue gara-gara itu?"

"Nggak gitu maksud gue."

"Lo mikir nggak, sih? Seberapa susahnya ini semua buat gue?"

Ale kembali mengatupkan bibirnya, membiarkan Ara melampiaskan semua perasaan yang berkecamuk di dadanya.

"Gue udah nggak bisa percaya lagi sama yang namanya cinta. Persetan sama itu semua," tuturnya. "Tapi kayaknya, selama ini lo udah salah paham sama semua perbuatan gue ke lo."

"Tunggu, Ra," Ale berusaha menggapai gadis itu, namun Ara menepis tangannya pelan.

"Jangan ganggu gue lagi."

Usai berkata demikian, Ara bergegas pergi meninggalkan Ale yang masih terdiam mematung.

***

Langit cerah berwarna jingga menggulung angkasa kala petang menjelang. Ara menendang kerikil-kerikil kecil yang menghalangi jalan pulangnya menuju rumah.

Sepanjang perjalanan, ucapan teman-temannya mengenai rumor tadi pagi serta apa yang dikatakan Ale terus terputar di kepalanya bak sebuah kaset rusak. Trauma mendalam menggores hatinya yang masih terluka lebar.

Ara sama sekali tak mengerti jalan pikiran orang-orang tampan seperti Ale. Kenapa lelaki sesempurnanya mau mendekati gadis biasa seperti dirinya? Selain itu, apa ucapannya yang tadi pagi itu secara tidak langsung benar-benar menyiratkan perasaan lelaki itu padanya?

Tapi, itu tidak mungkin, bukan?

Bagaimanapun, jarak perbedaan yang membentang di antara keduanya terlalu lebar. Membayangkan keduanya bersama saja sudah merupakan hal yang sulit ditakar oleh nalar. Apa ini juga termasuk bagian dari permainan hati? Apakah Ale juga mendekatinya hanya karena sebuah taruhan bodoh? Ataukah ... karena ia ingin memperalatnya seperti apa yang Kai lakukan dulu?

"Dasar pembawa sial!"

Prang!

Ketika keributan itu sampai ke telinganya, Ara sontak menolehkan kepala. Teriakan seseorang dan suara pecahan piring sukses membuat gadis itu kembali tersadar dari lamunan.

Ayah dan ibu pasti berantem lagi, batinnya.

Niat hati ingin berbalik pergi, namun sayangnya Ara tak bisa melakukan itu. Sudah cukup dua hari belakangan ini ia banyak merepotkan sahabatnya. Sekarang, sudah waktunya ia pulang ke tempat yang sebenarnya tak pantas ia sebut rumah.

Meskipun konsekuensinya adalah menjadi sasaran kemarahan sang ayah. Seperti yang sudah-sudah.

"Aku pulang," ucapnya memberi salam.

Plak!

Ara meringis, menahan rasa perih yang tiba-tiba menjalar di pipinya. Bukan sambutan hangat yang diterima gadis itu ketika baru saja menginjakkan kaki ke dalam rumah, melainkan sebuah tamparan keras. Gadis itu menundukkan kepala, tak berani menatap lurus-lurus ke arah sang ayah yang masih dilalap emosi.

"Ini lagi, dasar anak nggak tahu diri! Dari mana aja kamu? Udah berani kamu kabur dari rumah? Iya?"

Ara masih diam tak bergeming. Buku-buku jarinya terkepal hingga memutih.

"Kenapa diam? Jawab! Dari mana aja kamu sampai dua hari nggak pulang-pulang? Jangan-jangan kamu pergi ke tempat hiburan malam, ya? Nggak inget kalau punya rumah?"

Semakin lama gadis itu berusaha menahan diri, semakin kencang pula napasnya memburu. Dadanya semakin sesak hingga membuat gadis itu kesulitan bernapas. Namun, usai berhasil mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya yang hampir menumpul, Ara mendongak menatap pria paruh baya itu dengan tatapan nanar. Matanya yang berubah merah terlihat berkaca-kaca.

"Ini bukan rumah," cicitnya. "Jadi nggak masalah kalau aku nggak mau pulang!"

Ara yang sudah terlanjur muak bergegas pergi menjauhi sang ayah yang semakin naik pitam. Usai membanting pintu kamarnya dan menguncinya dari dalam, gadis itu jatuh terduduk. Sayup-sayup suara nyaring lelaki itu masih terdengar dari celah pintu bersamaan dengan ketukan keras yang terus menggema di telinganya.

"Keluar kamu! Kurang ajar, udah berani ya kamu bentak-bentak orang tua? Keluar!"

Riak air mata menganak sungai membasahi kedua pipi Ara. Sambil menangis tergugu, gadis itu membenamkan wajah di balik kedua lututnya.

ALEARANơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ