loser

14 1 0
                                    

“Suatu saat, lo pasti nyesel sama omongan lo itu.”

- Ale

Ketika Ale berjalan memasuki bar, lelaki itu disuguhkan dengan dentuman musik yang mengalun keras dan binar lampu diskotik yang menyala terang. Kehadirannya disambut baik—bahkan kelewat baik—oleh para wanita haus belaian yang langsung mengerubunginya. Meski hanya berbalut pakaian kasual, lelaki itu tetap terlihat bersinar di mata perempuan manapun yang melihatnya. Ia sama sekali tak terlihat seperti anak remaja pada umumnya dengan sebuah coat hitam dan celana panjang berwarna senada yang membalut tubuhnya. Beruntung saat ini ia tak mengenakan seragam, karena jika seperti itu, namanya bisa terseret dalam sebuah kasus yang akan merugikan citra sekolahnya.

“Hai, ganteng, mau minum bareng, nggak?”

“Joget sama aku di sana, yuk?”

Lelaki itu terus berjalan acuh melewati mereka. Sejak pertama kali ia menjejakkan kaki di tempat tersebut, pikirannya hanya terfokus pada satu hal. Menemukan Kaisar.

Mana dia? Batinnya.

Rahangnya tiba-tiba mengeras manakala kedua netranya tak sengaja menemukan sosok yang dicarinya di salah satu sudut ruangan. Lelaki itu terlihat asyik meneguk anggur bersama dua orang wanita yang terduduk mengapitnya dari kedua sisi. Dengan amarah yang terus membumbung, Ale berjalan cepat menghampiri lelaki tersebut lalu melayangkan bogem mentahnya.

Bugh!

Tak ayal, tindakannya itu berhasil mencuri perhatian orang-orang di sekitar mereka. Tak sedikit pula dari mereka yang memasang ekspresi terkejut.

“Sialan, ternyata lo lagi.”

Kai mengusap setitik darah yang tercetak di sudut bibirnya. Ia menyeringai tajam, memaku tatapannya kepada Ale yang masih dilalap emosi. Seakan belum puas dengan bogem mentahnya, Ale kini beralih mencengkeram kerah baju Kai seraya menatapnya marah.

“Brengsek! Apa lo sadar sama apa yang lo lakuin sekarang?!”

“Urusan lo apa? Apapun yang gue lakuin nggak ada hubungannya sama lo,” Kai berujar santai seraya balik menatap Ale dengan pandangan remeh.

“Apa lo nggak mikir gimana perasaan Ara kalau dia tahu ternyata lo sebrengsek ini?”

Mendengar nama gadis itu disebut-sebut membuat ucapan Cal tempo hari kembali terputar di kepalanya. Saat itu, Cal menunjukkan foto seorang gadis yang sedang bersama seorang pria di koridor sekolah.

“Lihat, deh. Aku nggak sengaja lihat mereka berduaan di koridor sekolah waktu itu. Kira-kira mereka ada hubungan apa, ya?”

“Kenapa? Lo pikir selama ini gue nggak tahu?”

Kai berdecih pelan lalu bangkit menyerang Ale dengan mencengkeram kerah bajunya. Emosinya ikut terpancing keluar.

“Peduli setan. Nggak usah ikut campur lagi sama urusan gue, sialan!”

Keduanya berhasil dilerai oleh dua orang petugas keamanan serta teman-teman Kai yang juga merasa berang dengan tindakan anarkis Ale.

“Lepasin gue! Kurang ajar, si brengsek itu harus gue kasih pelajaran!” Kai terus memberontak, memaksa bebas dari cengkeraman teman-temannya yang menahan lelaki itu agar situasinya tidak menjadi semakin runyam. Sementara itu, Ale sudah terlihat sedikit lebih tenang usai dijauhkan dari Kai oleh petugas keamanan.

“Denger! Gue sama sekali nggak peduli sama si cupu itu! Emangnya siapa orang gila yang mau jadian sama dia? Haha, nggak ada!”

“Sialan,” kedua tangan Ale mendadak kembali terasa gatal ingin meninjunya. Namun, hal itu terpaksa ia urungkan karena petugas keamanan sudah lebih dulu menahannya. Kai tertawa terbahak melihat Ale yang tak kuasa menyerangnya kembali.

“Suatu saat, lo pasti nyesel sama omongan lo itu.”

Tepat setelah ia berucap demikian, Ale menepis tangan orang-orang yang menahan tubuhnya lalu berbalik pergi meninggalkan bar.

***

Ara berjalan menuruni bis guna mendatangi gelanggang tempat Kai berlatih untuk persiapan turnamen. Senyumnya mengembang, firasatnya bagus soal ini. Gadis itu begitu percaya diri bahwa kali ini Kai bisa bertemu dengannya, meskipun hanya sebentar. Saking antusiasnya, ia bahkan rela membawa sebuah jinjingan berisi handuk, makanan, air, dan sekotak kado untuk kekasihnya.

Kai pasti suka, batinnya seraya mengintip isi bingkisan tersebut—masih dengan senyum yang mengembang.

Usai mengikuti petunjuk yang diberikan petugas keamanan, Ara akhirnya sampai di depan sebuah pintu berukuran besar. Gadis itu berusaha mengendalikan jantungnya yang mulai berdebar tak berirama, merasa gugup karena akan kembali bertemu kekasihnya setelah sekian lama.

Ara sengaja tidak mengabari lelaki itu lebih dulu mengenai kedatangannya, dengan maksud ingin memberi kejutan. Jadi, ketika ia sampai di depan gelanggang, barulah gadis itu menelepon kekasihnya.

“Kai? Kamu di mana?”

“Bukannya aku udah bilang lagi latihan?”

“Aku tahu, tapi bisa nggak kamu keluar sebentar?”

“Aku sibuk, sekarang belum bisa ketemu siapapun.”

“Tapi, Kai, aku udah di depan gelanggang sekarang,” ujar Ara berusaha terdengar baik-baik saja, meredam kekecewaan yang terselip di balik perkataannya.

“Maaf, tapi aku bener-bener nggak bisa diganggu sama siapapun sekarang. Lagian, kenapa kamu nggak bilang dari awal, sih? Kalau gini siapa yang salah?”

Hati Ara tercubit setelah mendengar ucapan bernada ketus yang dilontarkan Kai padanya. Mungkin, ini memang salahnya karena datang tanpa berkabar. Tapi … apa salah jika ia rindu dan ingin bertemu? Bagaimanapun, Ara nekat menghampirinya seperti itu karena Kai juga jarang memberinya kabar.

“Sekarang, mending kamu pulang. Aku capek, mau istirahat.”

Usai berucap demikian, Kai memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Akhirnya, dengan berat hati, Ara berbalik pergi dengan perasaan hampa. Hatinya terasa kosong, gadis itu terus bertanya-tanya tentang alasan dibalik sikap Kai yang berubah padanya. Apa karena sudah tak lagi cinta? Apa karena … perasaannya sudah berpaling pada hati yang lain?

Mungkin sekarang dia emang lagi capek. Lagian, turnamennya kan besok lusa. Apa aku udah terlalu banyak ganggu dia, ya? Batinnya.

Di perjalanan menuju halte, Ara berjalan lunglai seraya tertunduk dalam, terus-menerus disibukkan dengan isi kepalanya yang dipenuhi badai. Perasaannya berkecamuk, air matanya terus mendesak keluar.

“Aduh!”

Akibat tidak memperhatikan jalan, tanpa sengaja gadis itu menabrak seorang pria bertubuh jangkung yang kedapatan tengah berlari ke arahnya. Pria berjaket abu dan bertopi hitam itu pun sama terkejutnya dengan Ara ketika mereka bertabrakan.

“Maaf,” cicitnya seraya tertunduk malu.

Ale berdecak kesal. Ia kembali memasang earphone yang terlepas dari salah satu telinganya. Namun, alisnya tiba-tiba tertekuk usai menyadari siapa perempuan yang barusan bertabrakan dengannya.

“Lo?”

ALEARAWhere stories live. Discover now