heartbeat

15 2 0
                                    

Lo yakin cuma temen?

- Ale

Ara tak sanggup menyembunyikan wajah terkejutnya usai melihat siapa yang barusan tak sengaja ditabraknya itu. Bibirnya sedikit terbuka, kedua matanya terbelalak lebar.

“L-lo? Ngapain di sini?” Ara berteriak terkejut. “Lo ngikutin gue, ya?”

Ale mengangkat sebelah alisnya. “Nggak lihat gue lagi ngapain?”

Gadis itu kemudian mengamati penampilan Ale dari ujung kepala hingga kaki. Dari pakaian yang ia kenakan, sudah jelas lelaki itu sedang berolahraga.

“Tapi … kenapa harus di sini?”

“Lo sendiri ngapain? Olahraga?” Ale balik bertanya.

“N-nggak, kok. Gue cuma … kebetulan lewat aja,” jawabnya sedikit terbata. Ale mengerutkan dahinya, sama sekali tak percaya dengan jawaban gadis itu. Kemudian, tatapannya tertuju ke arah jinjingan berisi handuk dan botol minuman yang dibawa gadis itu.

“Terus, itu apa?”

Ara sontak menyembunyikan jinjingan tersebut di balik punggungnya. “I-ini … ini punya temen gue, sengaja mau gue balikin hari ini.”

Lelaki itu mengangguk pelan, berpura-pura paham. Namun, sepertinya niatan lelaki itu untuk menjahili Ara tak berhenti sampai disitu saja.

“Lo yakin cuma temen?”

Ara terkesiap. “M-maksud lo apa?”

Lelaki itu tak serta-merta menjawab. Salah satu sudut bibirnya tiba-tiba tertarik membentuk seringai tipis.

“Semuanya udah kejawab dari bahasa tubuh lo.”

“Ngomong tuh yang jelas, dong! Gue nggak ngerti maksud lo apa,” ujar Ara seraya mematut tatapan bingungnya kepada Ale yang berbalik memunggunginya. Tak berniat memperpanjang perdebatan tak penting mereka.

“Terserah,” ucap lelaki itu seraya berjalan pergi. Namun, sepersekian detik berikutnya, Ale tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Mau sampe kapan lo berdiri di situ?” Tanyanya seraya sedikit menoleh ke belakang. “Ayo pulang.”

***

Dua sejoli itu berdiri berdesakan di antara lautan manusia. Maklum, setiap pukul enam sore, segala jenis alat transportasi umum biasanya memang dipenuhi oleh orang-orang yang baru saja pulang bekerja.

Pun demikian halnya dengan bis yang mereka tumpangi saat ini. Bahkan ketika bis tersebut berhenti di halte terdekat, suasana di dalamnya tak kunjung menjadi lapang.

“Permisi!”

Ketika beberapa orang berhamburan memasuki bis, tanpa sengaja Ale mengungkungi tubuh Ara hingga posisi keduanya menjadi sangat berdekatan. Saking dekatnya, Ara bahkan bisa mendengar jantung Ale yang berdebar sama gilanya seperti apa yang ia rasakan saat ini. Aroma napasnya yang segar serta wangi tubuhnya yang harum semerbak membuat kewarasan gadis itu nyaris terbabat, habis tak bersisa.

“Maaf,” Ale berujar pelan.

Ara menggeleng gugup. Gadis itu mengerti apa maksudnya. Lelaki itu mungkin merasa bersalah karena telah membuatnya terjebak di dalam posisi yang tidak nyaman. Namun, ia tahu ini sama sekali bukan salahnya.

Tak lama kemudian, suasananya berubah menjadi semakin canggung ketika bis yang mereka tumpangi tiba-tiba mengerem tajam. Guna mengantisipasi dampak buruk yang bisa saja timbul akibat manuver tersebut, Ale refleks melindungi Ara dengan cara memeluknya.

Keduanya melotot terkejut. Sadar akan perbuatannya, Ale buru-buru melepas tangannya yang melingkar di punggung Ara.

“Ehm. Maaf,” ujar Ale seraya berdeham pelan. Lelaki itu memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona merah di kedua pipinya. Namun, sekeras apapun ia mencoba, nyatanya tetap saja Ara bisa melihat kegugupan itu tercetak jelas di wajahnya.

Dan entah kenapa, di matanya, saat ini lelaki itu terlihat jauh lebih menggemaskan. Ia tak pernah tahu bahwa Alexa Naradipta—ketua OSIS sekaligus atlet bela diri yang terkenal dingin itu—ternyata bisa juga merasa gugup ketika berhadapan dengan seorang gadis.

Beberapa menit kemudian, dua sejoli itu akhirnya berhasil sampai di tempat yang mereka tuju dengan selamat. Dan layaknya pria sejati, Ale bersikukuh mengantar gadis itu sampai tiba di dekat rumahnya.

“Gue anterin lo sampe rumah.”

“Eh? Nggak usah, gue bisa jalan sendiri.”

“Lo nggak bisa nolak. Lagian, gue nggak mau ikut keseret kalau sampe lo diculik.”

Usai mendebatkan hal bodoh tentang harus atau tidak lelaki itu mengantar Ara pulang, keduanya kembali disibukkan dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang bersuara. Tampaknya, suasana di antara mereka masih terasa canggung meski sudah tak lagi berada di dalam bis.

Sesampainya di rumah, Ara yang masih dihantui perasaan gugup itu menyembunyikan wajahnya di balik bantal. Gadis itu tampak kesulitan meredakan debaran aneh yang tiba-tiba ia rasakan ketika berdekatan dengan Ale di bis sore tadi.

“Maaf.”

“Aaargh,” erangnya tak jelas. Kenapa sulit sekali baginya melupakan kejadian memalukan itu?

Dasar bodoh, batinnya.

Sepi bgt astagaa😭 sedih nih author. Yuk bisa yuk ramein lagii vote & komen kalian readers wkwk jangan cuma jadi silent reader aja:)

Author bakal makin rajin upload (mumpung ini udah ready semua nih di draft, tinggal upload2 aja) jadi sekarang tinggal kaliannya aja yg rajin ngikutin ceritanya. Dijamin bakal seruuw dan ketagihan buat baca terus sampe akhir!🙌

So far, makasii banyak buat readers yang udah setia mantengin ceritanya dari awal sampe sejauh ini. Keep the faith in me ya!❤️

ALEARAWhere stories live. Discover now