Momen 40 - Duka yang Dalam

102 13 2
                                    

Di mata orang lain, mungkin rumah itu tampak baik-baik saja. Warna pintunya masih sama. Dindingnya yang beberapa bagian sudah mengelupas masih sama. Tanaman di depan rumah, yang tak pernah lupa Ami siram juga masih sama. Namun, di mata Kelana tidak seperti itu. Sesuatu yang kelihatan dari luar tidak selalu sama dengan isinya kan? Isinya telah berubah. Orang yang selalu menyambut Kelana setiap dia datang, kini sudah tak ada di sana.

"Yuk." Dadang mengusap pundak Kelana. "Sudah saatnya kamu hidup seperti biasanya."

Mendengar ucapan itu, Kelana menggigit bibir. Sejak mamanya dimakamkan dua minggu lalu, Kelana selalu berusaha untuk ikhlas. Dia berusaha untuk tidak protes kepada Tuhan tentang cara-Nya menyayangi sang mama. Namun, Kelana tidak bisa membohongi diri. Kepergian Ami dari hidupnya seperti kehilangan jantung. Rasa-rasanya, Kelana hampir tidak bisa hidup.

"Lan." Dadang mengangguk lagi. "Mamamu sudah tenang di sana. Apalagi, dia mendapati anaknya sudah sukses seperti sekarang. Dia tidak akan khawatir lagi kamu kekurangan sesuatu."

Dadang dan keluarga di Bandung tidak pernah berhenti berucap seperti itu untuk menenangkan Kelana. Namun, Kelana tahu itu cuma penenang. Setelah mendengar kronologi mamanya kambuh karena dipicu oleh kabar viral yang berkenaan dengan dirinya, di pikiran Kelana, Ami bukan bahagia, tetapi meninggal dalam keadaan kecewa.

"Mama justru benci sama Lana. Mamang tahu kan dia meninggal saat ...." Kelana tidak bisa meneruskan ucapannya. Dia memilih mengusap air mata yang mengucur lagi.

Dadang menggeleng. "Dokter lebih tahu soal mamamu, Lan. Jauh sebelum denger kabar itu, kesehatan Teh Ami sudah menurun. Kamu denger sendiri kan? Pola makan dan istirahatnya berantakan. Bahkan dokter sendiri yang bilang bahwa keadaan yang terlihat sehat dari luar belum tentu sehat di dalam. Ini bukan salah kamu." Dadang menunduk. "Ini juga salah Mamang. Seharusnya Mamang bisa lebih teliti ngawasin Teteh."

"Bukan salah mamang." Kelana menggeleng. "Kalau Mama pergi bukan karena mendengar kabar buruk tentang Lana, berarti Mama meninggal karena keteledoranku kan? Seharusnya aku ada di sisi Mama. Seharusnya aku nggak pindah ke apartemen. Seharusnya ...."

Sebelum menyelesaikan ucapannya, Dadang langsung merengkuh Kelana. Lelaki itu menahan tangis melihat keponakannya seterpukul itu. Namun, takdir memang tak pernah berbicara kepada manusia kan? Ancang-ancang tidak selalu datang terlebih dahulu saat musibah akan terjadi.

"Yuk." Sekali lagi, Dadang mengangguk.

Kelana melangkah pelan meski agak diseret. Ketika memutuskan datang ke Jakarta setelah pemakaman sang mama di Bandung, dia tidak yakin kehidupannya akan sama lagi seperti dulu. Bukankah motivasi untuk tetap hidup adalah sang mama? Sekarang, pendorong itu sudah tidak ada. Kelana tidak tahu harus bertumpu pada siapa.

***

Kelana menatap layar ponsel yang mati. Selama dua minggu terakhir, Kelana sama sekali tidak membuka ponsel. Dia tidak tahu juga informasi yang berkembang di luaran sana. Kini, di kamar yang pengap, Kelana seperti terbangunkan dari tidur panjang untuk kembali ke dunianya.

Kelana menelan ludah. Dia tahu, tidak mudah untuk kembali hadir di dunia yang rumit. Namun, Kelana sadar bahwa dia punya banyak tanggung jawab. Salah satunya melihat isi ponsel.

HP itu diaktifkan. Ketika menyala, muncullah berbagai pesan yang membuatnya menegakkan badan.

Lana, kamu baik-baik di Bandung ya. Maaf, saya hanya bisa menemanimu saat pemakaman mamamu saja.

Itu pesan dari Adi, tepat satu hari setelah acara pemakaman.

Kelana masih ingat. Di hari pemakaman itu, Kelana bersimpuh sampai sore, sampai semua orang yang mengantar ke pemakan pulang kembali ke rumah masing-masing. Di saat itulah, Adi muncul. Sendirian. Dia menemani Kelana sampai hampir magrib. Hingga Adi kembali pulang tanpa bertemu keluarga besar. Katanya, dia harus mencari Ken lagi.

Glow Up Moment (Tamat)Where stories live. Discover now