Momen 30 - Pengorbanan dan Kesempatan

88 18 10
                                    

Ami mengusap kepala Kelana saat dengkuran mulai terdengar nyaring. Ami tahu, itu gambaran rasa lelah yang Kelana rasakan. Anak umur 17 tahun dipaksa untuk bisa bekerja, demi Ami yang tengah bertarung dengan penyakit.

"Terima kasih, Sayang," bisik Ami kepada Kelana yang ada di pangkuannya.

Mata Ami kini fokus ke jendela yang masih terbuka lebar. Biasanya Dadang yang menutup jendela itu. Namun sepertinya, malam ini Dadang kelelahan hingga tidur duluan dan membiarkan jendela itu terbuka. Tentu, terbukanya jendela seperti keuntungan untuk Ami. Angin malam masuk dan membelai badan Ami yang terasa panas. Kesejukkan itu juga mengundang lamunan Ami terhadap awal mula perjalanan Kelana di dunia enterteint.

Saat Kelana menyodorkan sebuah map, Ami langsung sadar jika sudah saatnya rasa pahit itu muncul lagi ke permukaan. Ami pernah ada di situasi menutup rapat-rapat informasi soal ayah Kelana dari kecil. Bahkan Ami tidak pernah memberitahu nama atau foto ayah Kelana sekalipun. Sebaliknya, Kelana tidak meminta. Bahkan dia tidak mau tahu dan tidak mencari tahu.

Detik itu, saat Ami membuka map berisi MOU dari KAM, Ami sadar bahwa takdir berkata lain. Ami semakin yakin jika Tuhan menginginkan pertemuan itu. Bukan hanya pertemuan antara Kelana dan ayahnya, tetapi juga lebih dekat dari itu. Nama Adipura Antariksa sebagai direktur di KAM-lah yang membuat Ami harus berkutat kembali dengan kepedihan.

Tentu Ami tidak tinggal diam. Ami mulai mencari KAM di internet. Dia mencari foto-foto direktur utamanya. Adipura Antariksa pimpinan KAM itu ternyata memang mantan suaminya. Ayah Kelana. Sempat ada rasa syok karena ternyata mantan suaminya itu sudah sesukses sekarang. Di masa lampau, Ami hanya tahu jika Adi seorang karyawan marketing di sebuah perusahaan. Sekarang? Adi ternyata nama yang ada di balik artis-artis top Indonesia.

Dari mana Adi tahu?

Ami sadar bahwa kepopuleran Kelana di Tiktok-lah yang mempertemukan. Ami juga ingat dengan video Kelana dan dirinya yang terpampang nyata. Mungkin Adi melihat video itu dan mulai mencari tahu? Pikir Ami. Hingga Adi mengajak Kelana masuk ke management.

Dari dulu, Ami memang tidak mau Kelana tahu mengenai ayahnya. Ami semakin bahagia ketika Kelana juga tidak mempertanyakan keberadaan ayahnya. Namun setahun belakangan, Ami mulai berpikir untuk menggali kembali kenangan yang telah dikubur itu. Terutama saat Ami didiagnosis gagal jantung.

Kalau aku pergi, siapa yang jadi tumpuan Kelana?

Dari sanalah Ami mulai gencar mengungkit perihal Adipura di hadapan Kelana. Ami selalu bertanya, "Kamu nggak penasaran sama ayahmu?"

Pada saat MOU itu disodorkan kepada Ami, ada perasaan berat untuk mengizinkan Kelana masuk management. Meski Ami bukan orang di dunia enterteint, Ami tahu, setelah masuk sebuah perusahaan, siapa pun akan terikat, bukan? Ami tidak mau anaknya yang dibesarkan untuk hidup lebih baik malah harus bekerja. Namun karena fakta soal Adipura, Ami menguatkan diri untuk mengizinkan. Apalagi, Ami melihat jika Kelana juga tertarik dengan management tersebut.

Soal apartemen pun begitu. Siapa ibu yang rela melepaskan anaknya tinggal di tempat lain? Lagi-lagi, Ami memberi kesempatan kepada Kelana untuk bisa leluasa bertemu ayahnya. Ami tahu jika pemberian apartemen itu adalah bentuk pendekatan Adi kepada anaknya sendiri. Satu yang penting. Pertemuan Kelana dan Adi tidak di depan mata Ami. Ami masih belum bisa membayangkan jika harus bertemu kembali dengan lelaki yang mencampakkannya belasan tahun lalu.

***

Ami melipat pakaian yang sudah dicek oleh calon pembeli, kemudian memasukkan kembali ke dalam plastik. Setelah itu, dia mengecek stock model pakaian terbaru di dus dengan cekatan. Dia mencoba menyusun dan menggantungkannya satu per satu.

"Teh, udah ...." Dadang menghentikan aktivitas sibuk Ami. "Inget kata Lana. Teteh mandor aja di sini."

Ami terkekeh. "Dang, Teteh nggak bisa diem aja liatin kamu." Ami mengusap keringat didahi, disusul helaan napas panjang.

"Tuh kan?" Dadang buru-buru datang. "Sesak?"

"Enggak!" Ami akhirnya duduk. "Ini cuma reaksi biasa. Mungkin karena Teteh belum terbiasa lagi."

"Pokoknya Teteh istirahat aja, ya?" Dadang bertanya sekaligus menegaskan. "Dadang nggak mau Teteh kenapa-napa. Ini tugas Dadang."

"Okey ..." Ami mengangguk. Ada semacam rasa bangga. Dadang adalah satu-satunya keluarga Ami yang bisa dibilang dekat. Yang lain? Ah, karena Ami terlanjur sakit hati akan masa lalu. Hampir semua keluarga Ami di Bandung sudah seperti orang lain.

"Selamat sore." Suara itu memecah percakapan Dadang dan Ami.

Ami menengok ke depan toko. Dia mendapati seorang lelaki berdiri membelakangi. Ami hanya mampu melihat badan seorang lelaki dari belakang dengan jas tebal, serta rambut yang di beberapa titik sudah memutih.

Dadang melangkah ke depan. Saat pergerakkan itu terjadi, lelaki tadi berbalik badan. Detik itulah Dadang maupun Ami membeku. Bagi Dadang, mungkin ini sebuah kejutan setelah belasan tahun. Sementara bagi Ami, ini bukan hanya kejutan, tetapi juga penubrukkan paksa benteng yang telah dibangun sejak lama.

"Teh." Suara Dadang mengudara.

Ami yang sempat beku, menarik napas panjang. Dia menekan dada cukup lama, hingga mengangguk ke arah Dadang. Tanda kalau Ami bisa menghadapi lelaki itu.

Tanpa berbicara, Ami melangkah ke luar. Dia berjalan dengan gerakkan tak keruan. Dia menuju lantai atas yang bisa dipakai untuk duduk dan santai. Ingin Ami menjerit dan mengusir. Namun tindakkan itu tidak tepat. Ami sendiri yang sudah membuka akses Adi untuk tahu apa pun. Maka Ami berusaha untuk tenang dipertemukan dengan mantan suaminya.

Sekarang, kedua orang itu ada di lantai 8 Pasar Tanah Abang. Mereka memilih duduk dipojokkan. Saling berhadapan. Keduanya sama-sama diam. Hingga kemudian, Adi berbicara. "Maaf."

Alih-alih menjawab, Ami memilih untuk membuang muka dan mengusap air mata.

"Saya salah. Saya telah mencampakkan kalian. Saya ...."

"Cukup!" Badan Ami menegak. "Saya tidak butuh penjelasan."

Suara Adi tertelan kembali.

"Mau apa ke sini?" tanya Ami.

"Saya ke sini ingin memenuhi janji saya untuk bertanggung jawab."

Perkataan itu membuat Ami terkekeh getir. "Tanggung jawab? Setelah 17 tahun?"

"Saya tahu ini sudah terlalu lama." Adi berkata cepat. "Asal kamu tahu. Dari dulu, saya nyari kalian. Saya nggak pernah bisa melacak keberadaan kalian. Sampai kemudian, Tiktok Kelana viral. Saya seperti menemukan kembali danau jernih setelah sekian lama terpenjara di kubangan air keruh."

"Omong kosong!"

"Mi ...." Adi berusaha mengulurkan tangan. Bermaksud mengusap tangan Ami.

Belum sempat tangan itu tersentuh, Ami menggeserkan tangan ke sebelah kiri.

"Kasih saya kesempatan," ucap Adi setelah menarik tangannya kembali. "Saya janji, saya akan melakukan yang terbaik untuk Lana."

"Kalau saya tidak memberi kesempatan, nggak mungkin saya setuju Lana gabung di-management-mu," jelas Ami. "Ingat, Di. Saya nggak pernah lupa betapa kejinya kamu. Saya nggak bakal lupa sakitnya hamil besar berjuang sendirian. Saya nggak akan lupa ...." Ami menelan ludah. Dia mengatur napasnya lagi. "Kesempatan ini buat Lana. Bukan buat kamu. Saya melakukan ini semua buat Lana. Bukan buat kamu."

***

Gimana setelah sejauh ini guys?

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang