MOMEN 8 - HILANG

192 32 14
                                    

Suara peluit dengan teriakkan dari supporter lawan menjadi kombinasi yang buruk. Pertandingan selesai, dan tim Bian kalah telak. Dari babak ke babak, tidak ada perkembangan. Bian dan tim habis-habisan berjuang, tetapi ternyata tim lawan lebih kuat. Bian tidak bisa mengimbangi juara bertahan itu.

Sesaat setelah proses pemberian penghargaan kepada tim lawan, Bian dan kawan-kawannya menyisi. Dia menarik air mineral dan mereguknya begitu cepat. Dadanya naik turun. Wajahnya juga merah dan berkeringat.

"Kalah lagi kita," ucap Arya. "Tahun depan, gue nggak yakin kita bakal diizinkan buat ikutan lomba-lomba lagi. Pihak sekolah ngancem gitu kan?"

"Sorry." Bian angkat suara. "Gue nggak bisa lakuin yang terbaik. Gue ...."

"Sttt. Ini tanggung jawab kita semua," potong Bobi. "Lain kali, persiapan kita harus lebih matang. Lagian, setahun terakhir ini, kita nggak dikasih pelatih kan? Wajar kita kalah. Kita latihan sendiri."

"Nggak dikasih pelatih juga bagian dari hukuman sekolah. Basket kita dari tahun ke tahun nggak ada peningkatan." Parhan yang sedang lesehan di pinggir lapang ikut menanggapi.

"Semangat, Bian dan tim!" teriak Clarissa dan beberapa anggota cheerleaders dari tribun. "Perjuangan kalian belum selesai kok. Gue yakin, pertandingan lainnya pasti bakal kalian menangkan."

Bian mengacungkan jempol kepada Clarissa dan para pendukung. Saat itu pulalah dia mengingat Kelana. Sejak babak kedua, dia sama sekali tidak melihat cewek itu. Untungnya, dia menemukan dua sahabat Kelana yang berdiri sambil menghadap kepada Bian. Dari raut wajah, Iti dan Puan sama kecewanya dengan kekalahan itu.

"Guys, gue ke sana dulu sebentar," kata Bian sambil menunjuk tribun.

Teman-teman Bian mengangguk.

Bian menghampiri Puan dan Iti. Saat dia datang, Puan buru-buru menyodorkan tangan. "Selamat ya, Bi."

"Gue kalah, Ti." Bian terkekeh. "Kok malah ngasih selamat?"

"Kalian udah berjuang keras kok. Kalian udah ngelakuin yang terbaik." Puan ikut bersuara. "Lo harus tetep bangga sama prosesnya."

Bian mengangguk, dia menerima sodoran tangan itu Iti pada akhirnya.

"Masih ada kesempatan," kata Iti. "Kekalahan ini bukan akhir."

Bian mengangguk lagi. Dia tahu jika kedua teman Kelana itu terlihat tulus menyemangati.

"Ngomong-ngomong, Lana mana?" tanya Bian setelah ada dalam haru.

"Kayaknya udah pulang," jawab Puan.

"Kok kayaknya?" Alis Bian terangkat.

"Waktu babak satu baru selesai, Kelana ke toilet. Nah, tadi kami berdua udah coba susul Lana, tapi dia udah nggak ada." Puan memanyunkan bibir. "Kayaknya memang udah pulang duluan, Bi. Tadi pagi, Lana ngobrol kalau sebenarnya dia sempat nggak akan hadir di pertandingan ini. Dia mau nemenin Tante Ami jualan."

"Udah coba ditelepon?" tanya Bian lagi.

"Udah. Nomornya aktif, tapi nggak diangkat. Mungkin lagi sibuk di toko." Iti menjawab yakin.

"Tante Ami udah ditelepon?" tanya Bian lagi.

"Udah. Nomornya nggak aktif malah. Kata Lana, Tante Ami memang jarang ngaktifin HP kalau lagi jualan. Dia selalu fokus ngurus dagangan."

"Oke oke ..." Bian mengangguk-angguk. "Sekarang, kalian mau ke mana?"

"Kami mau ke sekolah lagi. Sayang banget kalo harus ninggalin jam pelajaran. Ini kan baru jam sepuluh."

"Ya udah kalau begitu. Makasih. Hati-hati juga di jalan." Bian tersenyum lebar. "Perlu gue telepon supir buat nganterin kalian?"

"Boleh bang ...."

Glow Up Moment (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang